1. Otoritas Suami
Pernikahan merupakan langkah awal untuk membentuk keluarga. Di
dalamnya, masing-masing pihak—laki-laki dan perempuan— mempunyai suatu
kedudukan dan peran yang harus dijalankan agar dari pernikahan tersebut dapat
terbentuk keluarga yang membawa kemuliaan dan hormat bagi Tuhan.
Pada dasarnya, keluarga merupakan salah satu lembaga yang Tuhan bentuk
bagi manusia (Kej 2:24,25). Selain itu Tuhan juga yang membentuk lembaga
pemerintahan dan jemaat. Sebagai sebuah lembaga, maka Tuhan juga menentukan
berbagai hal yang berhubungan dengan keluarga ini. Salah satu hal yang dibahas
dalam bab ini adalah tentang otoritas.
Untuk mengetahui bagaimana pengaturan Tuhan mengenai otoritas ini, maka
saya mengajak anda untuk melihat kembali ke dalam Alkitab dengan membaca salah
satu bagiannya dari 1 Korintus 11:3 yang tertulis demikian : “ Tetapi aku mau,
supaya kamu mengetahui hal ini, yaitu Kepala dari tiap-tiap laki-laki ialah
Kristus, kepala dari perempuan ialah laki-laki dan Kepala dari Kristus ialah
Bapa.”
Dari ayat ini kita mengetahui bahwa Tuhan mengatur jalur otoritas yang
berlaku dalam keluarga. Tuhan yang merencanakan ini semua agar keluarga dapat
berfungsi sebagaimana mestinya. Tuhan ingin agar dalam keluarga, suami dan
istri mempunyai peran dan tanggung jawab yang jelas sehingga lembaga keluarga
ini dapat memenuhi kehendak Bapa bagi keluarga.
Untuk memahami apa yang dimaksud dengan otoritas maka kita perlu
mengetahui apa arti kata tersebut. Kata otoritas dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) mempunyai pengertian sebagai berikut :
-
Kekuasaan yang sah yang diberikan kepada lembaga
dalam masyarakat yang memungkinkan para pejabatnya menjalankan fungsinya.
-
Hak melakukan tindakan atau hak membuat
peraturan untuk memerintah orang lain.
Tampak jelas dari pengertian di atas bahwa otoritas merupakan suatu
wewenang sah yang dimiliki oleh pemegang otoritas untuk melakukan tindakan atau
melaksanakan peraturan agar suatu lembaga dapat berfungsi sebagaimana mestinya
dalam masyarakat.
Demikian pula dalam lembaga keluarga. Tuhan menetapkan susunan
otoritas-Nya dalam 1 Korintus 11:3 sebagai berikut :
Bapa adalah kepala dari
Kristus.
Sumber otoritas jelas ada pada Tuhan. Dialah yang merencanakan dan
mengatur segala sesuatu, termasuk lembaga keluarga. Pengaturan yang
diberikan-Nya sempurna dan harus kita laksanakan dalam kehidupan berkeluarga.
Posisi Bapa sebagai kepala dari Kristus tidak menjadikan Kristus lebih
rendah atau lebih hina dari Bapa. Apalagi, dalam Kerajaan Tuhan, kepemimpinan
tidak pernah mengandung arti menjadi "yang lebih besar". Posisi
Kristus itu menunjukkan teladan dari sikap seorang hamba yang mau taat
sepenuhnya pada kehendak Bapa. (Mat 20:25-28; Flp 2:5-9). (Barnest, 2003)
Kristus adalah kepala dari tiap laki-laki. Kritus mendapat wewenang
dari Tuhan untuk menjadi kepala dari tiap laki-laki, termasuk suami, bahkan
kepala semua pemerintah dan penguasa. (Kol 2:10). Hal ini berarti bahwa Kristus
adalah Penguasa, Pengarah atau Tuhan dari setiap orang Kristen. Mereka harus
mengakui-Nya dan tunduk dalam segala hal pada cara pengaturan-Nya.
Laki-laki adalah kepala dari perempuan. Laki-laki mendapat wewenang
dari Kristus untuk menjadi kepala dari perempuan. Dalam konteks pernikahan,
pada saat laki-laki dan pe-rempuan memasuki jenjang pernikahan maka posisi
suami melekat dengan sendirinya pada laki-laki dan posisi istri juga melekat
pada pe-rempuan. Sebagai kepala, suami mempunyai otoritas atas istrinya, dan
istri wajib mengakui dan menghormati otoritas suaminya ini.
Posisi suami ini diperoleh bukan karena laki-laki berpenampilan
menarik secara fisik, pandai mencari uang atau pintar secara akademis, tetapi
memang karena TUHAN saja yang berkehendak menempatkan laki-laki pada posisi
ini. Tidak ada alasan lain. Karenanya, ketundukan istri kepada otoritas suami
merupakan wujud ketundukannya kepada otoritas Tuhan. Larry Christenson dalam
bukunya “Keluarga Kristen” menggambarkan susunan otoritas dalam 1 Korintus 11:3
sebagai “Peraturan Ilahi” yang mengatur tentang wewenang dan tanggung jawab yang
diuraikan dalam Alkitab :
· Sang suami hidup di
bawah wewenang Kristus dan bertanggung jawab kepada-Nya dalam hal memimpin dan
memelihara keluarganya itu.
· Sang istri hidup di
bawah wewenang suaminya, dan bertanggung jawab kepadanya sehubungan dengan
caranya mengatur rumah tangga dan memelihara anak-anak mereka. Istri
melaksanakan wewenangnya terhadap anak-anak atas nama dan sebagai pengganti
suaminya.
· Anak-anak hidup di
bawah wewenang kedua orang tua mereka.
Selanjutnya dia mengingatkan kita bahwa setiap penyimpangan dari
wewenang yang telah diatur oleh Tuhan itu hanya akan mengakibatkan perpecahan,
dan satu-satunya cara untuk memperbaikinya adalah berbalik kepada peraturan
dasar Ilahi.
2. Kepala Keluarga
Dalam pernikahan Kristen, menjadi suami merupakan suatu kehormatan
yang diberikan Tuhan bagi seorang laki-laki. Tuhan tidak memandang apakah
laki-laki itu tampan atau tidak, rajin atau malas, sabar atau pemarah dsb. Ia
tetap menempatkannya pada posisi sebagai suami sehingga posisi ini melekat
dengan sendirinya pada saat memasuki jenjang pernikahan.
Tuhan mempunyai rencana bagi seorang suami. Tuhan ingin suami menjadi
kepala keluarga, yang mempunyai otoritas atas istri dan anak-anak yang Dia
percayakan pada mereka. Tuhan ingin ada suatu posisi yang jelas dan tegas bagi
suami agar lembaga keluarga berjalan dengan tertib dan teratur dan pengaturan
selanjutnya sudah diserahkan kepada Kristus. Jadi, suami mendapat wewenang dari
Kristus untuk menjadi kepala keluarga.
Agar seorang suami dapat berfungsi sebagaimana mestinya sesuai dengan
wewenang yang dimilikinya, maka ada karakteristik tertentu yang perlu
dimilikinya. Saya ingin mengajak anda untuk membuka kembali alkitab dan membaca
salah satu bagiannya yaitu dalam 1Tim 3:4,5 yang tertulis sebagai berikut : “
seorang kepala keluarga yang baik, disegani dan dihormati oleh anak-anaknya.
Jikalau seseorang tidak tahu mengepalai keluarganya sendiri, bagaimana ia dapat
mengurus jemaat TUHAN?” dan dalam 1Tim 5:8 yang tertulis sebagai berikut: “
Tetapi jika ada orang yang tidak memelihara sanak saudaranya, apalagi seisi
rumahnya, orang itu murtad dan lebih buruk daripada orang yang tidak beriman”
Berdasarkan kedua bagian ini, ada empat karakteristik yang perlu
diperhatikan oleh seorang kepala keluarga.
Seorang yang baik. Kata
baik di sini lebih menekankan pada aspek moralitas. Seorang suami harus menjadi
teladan, khususnya dalam kesetiaannya kepada istri dan keluarganya. Ia harus
mau “pikul salib” dalam melaksanakan wewenang yang dimilikinya agar dapat
menjadi kepala keluarga yang baik. Kehidupan dan imannya yang teguh dapat
ditunjukkan di dalam keluarga sebagai sesuatu yang layak ditiru.
Seorang yang disegani dan
dihormati oleh anak-anaknya. Dengan wewenang yang dimiliki dan teladan yang
diperlihatkan seorang kepala keluarga, maka seluruh anggota keluarga akan
memahami peran sang kepala keluarga dan mereka akan tunduk serta menaruh hormat
padanya. Suatu situasi yang terjadi karena adanya kesadaran bahwa sang Kepala
keluarga layak untuk mendapatkan hal itu. Ketundukan ini muncul sebagai wujud
dari ketaatan kepada Firman Tuhan dan wujud rasa hormat terhadap Kristus yang
telah menempatkan seorang kepala keluarga yang baik di antara mereka.
Seorang yang tahu mengepalai
keluarganya. Tidak semua suami tahu bagaimana memimpin keluarganya. Tidak
semua suami tahu bagaimana cara melaksanakan wewenang yang dimiliknya. Mendapat
wewenang dari Kristus sebagai kepala keluarga tidak secara otomatis
menjadikannya seorang kepala keluarga yang baik. Perlu ada pemahaman alkitabiah
tentang posisinya ini.
Pada umumnya, suami berperan sebagai kepala keluarga secara diktator.
Apa yang diputuskannya menjadi hukum dalam keluarganya. Semua anggota
keluarganya harus taat pada hukum tersebut, terlepas dari setuju atau tidak.
Perilaku yang ditampilkan dalam keluarga tidak begitu penting karena “Akulah
raja dalam keluarga ini”. Hal ini terjadi karena orang tersebut menjadi kepala
keluarga yang berpusat pada dirinya sendiri. Segala sesuatu harus sesuai dengan
selera pribadinya. Tidak heran apabila sering terjadi tindakan kekerasan dalam
rumah tangga yang demikian.
Dalam kekristenan, seorang kepala rumah tangga haruslah seorang yang
sudah lahir baru. Artinya, dia seorang yang sudah bertobat dan menerima Tuhan
Yesus sebagai Juruselamat pribadi dan Tuhan dalam kehidupannya. Tanpa diawali
dengan kelahiran baru, mustahil dapat menjadi kepala keluarga yang sesuai
dengan kehendak Allah. Mengapa demikian? Karena dengan lahir baru, seseorang
menjadi ciptaan baru dalam Kristus (2Kor 5:17). Konsekuensinya, orientasi
kehidupannya berubah, dari orientasi pada diri sendiri menjadi orientasi pada
Tuhan Yesus (2Kor 5:15). Perjalanan kehidupannya hanya diarahkan agar sesuai
dengan kehidupan Kristus (1Yoh 2:6).
Karena itu, seorang kepala keluarga yang sudah lahir baru tahu dan
sadar bahwa posisi dan wewenang yang dimiliknya saat ini bukan berasal dari
dirinya sendiri, tetapi berasal dari Kristus. Bukan karena kekuatan fisik atau
kepandaiannya, tetapi merupakan kepercayaan dari Tuhan Yesus kepada dirinya.
Kepercayaan yang harus dia jaga dengan segenap hati melalui ketaatan dalam
kehidupannya.
Kehendak Tuhan bagi seorang kepala keluarga adalah bukan menjadi
diktator tetapi menjadi pemimpin yang memberikan teladan dalam keluarganya.
Teladan dalam perkataan, tingkah laku, kasih, kesetiaan dan kemurnian hidup.
(1Tim 4:12). Yesus berkata kepada para murid-Nya, “sebab Aku telah memberikan
suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah
Kuperbuat kepadamu.” (Yoh 13:15). Yesus merupakan teladan yang sempurna bagi
seorang pemimpin sehingga kita wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup
(1Yoh 2:6).
Seorang yang memelihara seisi
rumahnya. Aspek lain dari seorang kepala keluarga yang bertanggung jawab
adalah mau memelihara seluruh anggota keluarganya. Mereka adalah orang-orang
yang dipercayakan Tuhan berada di bawah kepemimpinan nya. Karena itu, meskipun
seseorang harus bersusah payah dan berpeluh mencari nafkah seumur hidupnya (Kej
3:17-19), tugas ini merupakan tanggung-jawabnya dan tidak bisa dialihkan kepada
orang lain. Memiliki wewenang dalam keluarga berarti ada tanggung jawab yang
harus dilakukan demi keluarga yang dipimpinnya.
Memang ada kecenderungan saat ini bahwa istri ikut ambil bagian dalam
mencukupi kebutuhan keluarga. Namun, hal ini tetap saja tidak menghilangkan
kewajiban kepala keluarga untuk memelihara keluarganya. Kecenderungan ini
justru harus disikapi dengan cermat karena beban istri menjadi lebih berat.
Tugas istri pun sebagai pengelola rumah tangga tidak hilang dengan
keikutsertaan dia mencari nafkah, justru tugasnya jadi bertambah. Apakah hal
ini tidak mengganggu peran dan fungsi masing-masing dalam keluarga ? Memelihara
keluarga tidak hanya berarti memenuhi kebutuhan fisik saja, tetapi juga
kebutuhan rohani tiap anggotanya, dan ini bisa terlaksana apabila tersedia
waktu dan perhatian yang memadai bagi anggota keluarganya.
Menjalani kehidupan sederhana bukanlah suatu hal yang tercela
dihadapan Tuhan. Justru Firman Tuhan memperingatkan kita akan bahaya mencari
uang secara berlebihan karena ingin kaya atau cinta uang (1Tim 6:9,10).
Ketaatan akan tugas dan tanggung jawab sebagai kepala keluarga haruslah menjadi
perhatian utama. Alkitab berkata “ … jika ada orang yang tidak memelihara sanak
saudaranya, apalagi seisi rumahnya, orang itu murtad dan lebih buruk daripada
orang yang tidak beriman.” (1Tim 5:8). Suatu hal yang tercela dihadapan Allah.
Terdapat konsekuensi logis apabila seseorang menerima wewenang dari
atasannya : dia harus tunduk dan mempertanggung-jawabkan penggunaan wewenang
itu kepada atasannya. Hal yang sama berlaku juga bagi seorang kepala keluarga.
Dia harus :
Tunduk kepada kehendak Kristus. Sudah
sewajarnya kepala keluarga tunduk kepada Kristus melalui ketaatan dalam
hidupnya karena Kristus merupakan kepala suami. (1Kor 11:3). Dialah yang
mengatur segala sesuatu agar tiap anggota keluarga berfungsi sebagaimana
mestinya dan hal ini diwujudkan dengan pemberian wewenang kepada suami untuk
berperan sebagai kepala keluarga. Ketundukkan
suami kepada Kristus haruslah berlandaskan kasih kepada-Nya. Dalam Alkitab
tertulis bahwa "Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti
perintah-perintah-Ku.”(Yoh 14:15). Inilah satu-satunya dasar yang benar untuk
taat kepada Kristus, yaitu karena suami mengasihi Tuhan Yesus.
Bertanggung-jawab atas kepemimpinannya
dalam keluarga. Alkitab mengingatkan bahwa kita akan memberi
pertanggungjawaban tentang diri kita sendiri kepada Allah (Rom 14:12). Seorang
kepala keluarga pada akhirnya harus mempertanggung-jawabkan wewenang yang
dimilikinya dihadapan Kristus. Apakah dilaksanakan dengan baik atau tidak,
semuanya akan terbuka dihadapan Kristus. Hal
ini diharapkan dapat mengingatkan kembali para suami agar lebih
bersungguh-sungguh lagi berfungsi sebagai kepala keluarga. Maju mundurnya
sebuah keluarga bergantung pada kepemimpinan suami. Dia tidak bisa melemparkan
tanggung jawab ini kepada istrinya dengan dalih bahwa istrinya lebih dominan
dalam keluarga atau lebih mampu memimpin keluarga. Kepemimpinan keluarga tetap
berada pada suami karena memang demikianlah kehendak Tuhan.
Keluarga adalah milik TUHAN. Ia menciptakannya. Ia menentukan susunan
intinya. Ia pula yang menentukan maksud dan tujuannya. Tugas kita adalah
memimpin keluarga agar dapat membawa kemuliaan dan hormat bagi Allah.
(Christenson, 1994:8).
3. Suami Terhadap Istri
Bagi seorang laki-laki, bertugas sebagai kepala keluarga merupakan
suatu amanat dari Tuhan yang harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Ini
merupakan kepercayaan besar yang menuntut pertanggungjawaban kelak
dihadapan-Nya.
Seorang kepala keluarga mempunyai peran ganda : sebagai suami bagi
istrinya dan sebagai ayah bagi anak-anaknya. Kedua peran tersebut menuntut
pengetahuan dan pemahaman tersendiri. Namun, dalam bab ini pembahasan akan
difokuskan hanya pada peran sebagai suami bagi istrinya. Peran ayah terhadap
anak akan dibahas ringkas dalam point 4.
Untuk mengawali pembahasan, saya ingin kembali mengajak anda untuk
membuka Alkitab dan memusatkan perhatian pada Ef 5:25-33, Kol 3:19, 1Tim 5:8,
1Pet 3:7 karena uraian di bawah ini akan bersumber dari ayat-ayat tersebut.
Berdasarkan bagian Alkitab di atas, paling tidak ada lima hal yang
perlu dilakukan oleh seorang kepala keluarga yang berperan sebagai suami :
Mengasihi istri. Tugas
utama seorang suami dalam pernikahan Kristen adalah mengasihi istrinya. Firman
Tuhan dengan jelas menyatakan dalam Ef 5:25 : “ Hai suami, kasihilah istrimu
sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya
baginya.” Ini merupakan perintah, bukan pilihan antara suka dan tidak suka,
tetapi sesuatu yang harus dilaksanakan.
Suami perlu memahami makna kata “kasih (agape)” dalam ayat ini.
Mengapa demikian ? Karena pemahaman yang dimiliki selama ini sering berbeda
dengan makna Alkitab. Kasih sering dikaitkan dengan pemenuhan selera pribadi :
“Saya mengasihi istri bila dia selalu memenuhi apa yang saya inginkan.” atau
“Saya mengasihi istri bila ...” atau “saya mengasihi istri selama dia ....” Ini
jelas bukan pemahaman alkitabiah, tapi pemahaman kedagingan yang harus segera
ditinggalkan bila ingin menjadi suami yang berkenan kepada-Nya.
Makna Alkitabiah dari kasih berkaitan erat dengan pengorbanan diri
atau “pikul salib”. Bila dikatakan “saya mengasihi istri”, maka hal itu berarti
“saya siap berkorban demi istri” atau “saya rela ’pikul salib’ bagi istri”. Hal
ini sudah dicontohkan oleh Tuhan Yesus dengan “menyerahkan diri-Nya” bagi
jemaat (Ef 5:25). Suatu teladan yang sempurna.
Mengasihi istri berlangsung seumur hidup. Kasih ini tidak bergantung
pada kondisi fisik atau keadaan sang istri. Ketika istri masih muda dan tampak
menarik atau sudah tua dan berkurang daya tariknya, kasih suami tetap tidak
berkurang. Ketika istri menjadi sedemikian cerewet dan menyebalkan, kasih suami
memberikan ketenangan pada sang istri. Ketika istri membutuhkan dukungan moril,
kasih suami memberikan peng hiburan dan kesegaran pada dirinya. Suatu kasih
yang terus memberi, rela berkorban, tanpa syarat, dan tanpa mengharapkan
imbalan. Suatu kasih yang senantiasa memikirkan kebahagian sang istri.
Mungkin ada suami yang tidak sependapat dengan pemahaman di atas dan
berkata “Itu ‘kan idealnya. Mana mungkin bisa dilakukan? Memang ada suami yang
mau demikian? Kalau cuma ngomong aja sih gampang. Lihat faktanya! Banyak istri
yang menyebalkan dan menyusahkan suami, sukar diatur dan bikin pusing suami,
dsb. Apa yang begini masih perlu dikasihi?” Wah … jangan emosi dulu. Sabar …
sabar … sabar.
Perkataan yang demikian memang sering terdengar di sekitar kita.
Namun, saya ingin mengajak para suami untuk kembali merenungkan secara cermat
makna kasih menurut alkitab. Yesus merupakan teladan kasih. Dia rela mati bagi
kita pada saat kita … sudah jadi baik? … sudah taat perintah Tuhan? … atau
peduli pada Allah? TIDAK ! Manusia tidak pernah peduli pada Tuhan, hanya peduli
pada dirinya sendiri saja. Tetapi, Dia rela mati bagi kita pada saat kita masih
senang berbuat dosa, masih menjadi seteru Tuhan (Rom 5:8). Tidakkah hal ini
menyentuh hati anda untuk berbuat hal yang sama pada istri anda, apapun
keadaannya ?
Lalu, apakah kasih seperti itu bisa saya lakukan? BISA ! Tidak pernah
Tuhan Yesus memberi perintah yang tidak bisa kita lakukan. Dia berkata
“Pikullah kuk yang kupasang … Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun
ringan." (Mat 11:29,30). Dia menjamin bahwa perintah-Nya bisa dilaksanakan
dalam kehidupan anda. Satu-satunya alasan agar anda bisa mengasihi istri anda
apa adanya adalah karena “saya mau taat pada Firman Tuhan.” Hanya itu saja,
tidak ada alasan lain !!
Menghormati istri. Mari
kita buka kembali Alkitab dan memusatkan perhatian pada 1 Petrus 3:7 sebagai
berikut : “Demikian juga kamu, hai suami-suami, hiduplah bijaksana dengan
istrimu, sebagai kaum yang lebih lemah! Hormatilah mereka sebagai teman pewaris
dari anugerah, yaitu kehidupan, supaya doamu jangan terhalang.”
Berdasarkan ayat di atas, Alkitab menyatakan bahwa suami harus hidup
bijaksana dengan istrinya. Artinya, suami harus bersikap penuh pengertian -
dengan budi pekerti yang baik - terhadap istrinya dan menyadari sepenuhnya
bahwa dia merupakan kaum yang lebih lemah” yang memerlukan bimbingan dan
perlindungan dari seorang suami.
Selanjutnya, hidup bijaksana dengan sang istri dapat diwujudkan dengan
sikap menghormatinya. Menghormati istri berarti menghargai keberadaannya
selayaknya, sebagai orang istimewa yang ditempatkan Allah menjadi penolong bagi
suami (Kej 2:18). Mengapa harus demikian? Karena Firman Tuhan menyatakan bahwa
istri merupakan “teman pewaris dari anugerah, yaitu kehidupan”.
Dalam kehidupan keseharian, kita melihat fakta bahwa ada suami yang
merendahkan, mengejek, dan berbicara kasar kepada istri, bahkan dihadapan orang
banyak. Memang memprihatinkan. Dia tidak me-nyadari betapa istimewanya istri di
hadapan Tuhan. Bila ada kekurangan pada sang istri, maka kewajiban suami untuk
membimbing dia dengan baik, bukan mengejek atau menghinanya. Para suami
seharusnya tidak melakukan perbuatan tercela tersebut kepada istrinya.
Alkitab dengan tegas memperingatkan suami bahwa bila dia gagal untuk
hidup bijaksana dengan menghormati dan memberikan perhatian terhadap istrinya,
jangan harap doanya dijawab Tuhan. Dalam pandangan Tuhan, istri merupakan
“teman pewaris” yang harus diperhatikan dengan selayaknya oleh suami supaya
“doamu jangan terhalang.”
Membina kerohanian istri. Pernahkah
para suami berpikir bahwa mereka adalah imam dalam keluarganya. Bukan pendeta
tetapi anda sendiri ! Kalau belum perhatikan Firman Tuhan berikut ini : “
Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus,
umat Tuhan sendiri.” Di dalam Kristus, setiap orang percaya secara pribadi dapat
mendekati dan menjumpai Tuhan. Penerapannya dalam keluarga adalah suami dapat
bertindak sebagai imam bagi istri dan anak-anaknya.
Perhatian utama seorang suami dalam hal ini adalah pertumbuhan
kerohanian istrinya. Dia merupakan orang yang dipercayakan Tuhan untuk dibina
oleh suaminya. Tanggung jawab ini tidak bisa dialihkan pada seorang pendeta
atau orang lain, tetapi benar-benar merupakan tugas mulia yang disediakan Tuhan
bagi seorang suami.
Saya mendengar beberapa orang suami berpendapat lain. Mereka berpikir
bahwa mereka sudah membawa istri dan anak-anaknya ke gereja setiap hari Minggu,
bahkan ibadah lainnya pada pertengahan minggu, dan hal itu dirasa lebih dari
cukup. Mengapa harus ditambah lagi dengan tugas pembinaan kerohanian lainnya
dalam keluarga? Bukankah hal itu menambah repot tugas sang suami?
Memang benar bahwa tugas suami untuk mencari nafkah bagi keluarga
dapat menghabiskan waktu setengah dari hidupnya setiap hari, sehingga pulang ke
rumah dalam keadaan yang sudah lelah. Memang benar bahwa membawa seluruh
anggota keluarga secara rutin ke gereja merupakan suatu bentuk ketaatan kepada
kehendak Tuhan (Ibr 10:25). Karena itu, para suami sering menganggap semua itu
sudah mencukupi dan akhirnya melalaikan fungsinya sebagai imam dalam keluarga.
Namun jangan lupa bahwa keluarga merupakan lembaga yang Tuhan bentuk
dan diatur sedemikian rupa sehingga rencana Allah dapat terlaksana dan
mendatangkan kebaikan bagi seluruh anggotanya (Roma 8: 28). Pengaturan yang
Allah berikan tidak dimaksudkan untuk merepotkan sang suami, tetapi justru
menolongnya untuk berfungsi sebagaimana mestinya sebagai kepala keluarga.
Sudahkah anda membaca Alkitab setiap hari bersama keluarga? Sudahkah
anda berdoa secara teratur bagi dan bersama keluarga? Ada banyak buku renungan
yang dapat menolong anda melakukan hal ini, bila perlu. Apakah terlalu berat
dan merepotkan anda sebagai kepala keluarga? Seharusnya tidak. Saat itu justru
seharusnya merupakan waktu yang menyenangkan untuk berjumpa dengan Tuhan Yesus.
Meskipun dilakukan dalam waktu yang tidak lama setiap hari, namun hal ini dapat
memupuk dan membina kerohanian istri anda.
Memelihara dan memenuhi
kebutuhan istri. Suami mempunyai tanggung jawab untuk memelihara kehidupan
istrinya seperti yang tercantum dalam Ef 5:28,29 : “Demikian juga suami harus
mengasihi istrinya sama seperti tubuhnya sendiri: Siapa yang mengasihi istrinya
mengasihi dirinya sendiri. Sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri,
tetapi memelihara dan merawatnya, sama seperti Kristus terhadap jemaat.”
Ditegaskan pula bahwa perhatian suami pada pemeliharaan tersebut sama seperti
dia memberikan perhatian kepada tubuhnya sendiri.
Hal ini dengan jelas ditunjukkan oleh Kristus, sebagai Kepala jemaat,
yang memelihara dan merawat jemaat-Nya dengan penuh kasih hingga Ia rela
“menyerahkan diri-Nya baginya”(Ef 5:25).
Hal yang sama berlaku pula bagi para suami : memelihara dan merawat
istrinya dengan penuh kasih. Alkitab menegaskan kembali bahwa “... Kasihilah
istrimu seperti dirimu sendiri ...”(Ef 5:33). Kasih Tuhan sajalah yang
memungkinkan suami melakukan hal ini dengan sikap rela berkorban demi
kebahagiaan istrinya. Manakala istri membutuhkan sesuatu, suami dengan penuh
kesungguhan berusaha memenuhi sesuai dengan kemampuannya. Bahkan manakala istri
sudah mulai sakit-sakitan, perhatian dan pemeliharaan suami tidak pernah
berkurang.
Kegagalan suami untuk rela berkorban dalam memelihara kehidupan istri
atau lari dari tanggung jawabnya merupakan suatu perbuatan yang tercela
dihadapan Tuhan. Alkitab dengan tegas dan jelas menyatakan bahwa “ Tetapi jika
ada orang yang tidak memelihara sanak saudaranya, apalagi seisi rumahnya, orang
itu murtad dan lebih buruk daripada orang yang tidak beriman.” (1Tim 5:8).
Janganlah menjadi orang yang demikian karena tidak mendatangkan ucapan syukur
dan kemuliaan bagi Tuhan Yesus !
Bekerjasama sebagai satu tim.
Seorang kepala keluarga tidak dapat bekerja dengan baik bila ia seorang diri,
tanpa kehadiran seorang penolong di sisinya, sebab kemampuan dan kekuatan yang
dimilikinya terbatas. Karena itu Tuhan berkata "Tidak baik, kalau manusia
itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan
dengan dia." (Kej 2: 18) dan Allah menempatkan istri menjadi seorang
penolong yang dimaksud oleh-Nya.
Bersama dengan istrinya, kepala keluarga melaksanakan fungsinya dalam
keluarga sebagai sebuah tim yang terpadu, saling melengkapi satu sama lain.
Mereka bekerja sama dalam membuat perencanaan dan pengelolaan rumah tangga dan
memelihara serta mendidik anak-anak yang dipercayakan Tuhan pada mereka. Maju
mundurnya suatu keluarga bergantung pada efektifitas dan kesungguhan kerja tim
ini.
Dalam suatu kesempatan, Yesus berkata bahwa “Setiap ... rumah tangga
yang terpecah-pecah tidak dapat bertahan.” (Mat 12:25). Jelas bahwa suami
sebagai kepala rumah tangga mempunyai tanggung jawab untuk mempertahankan
keutuhan keluarganya. Karena itu pendelegasian wewenang yang dimilikinya
menjadi suatu keharusan. Apakah suami dapat mengurus anak-anak dengan baik
sementara ia harus bekerja di luar rumah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya?
Tentu saja tidak. Ia perlu mendelegasikan wewenang kepada istrinya.
Pendelegasian ini memungkinkan kerja tim menjadi lebih baik, karena pengaturan
dan pengambilan keputusan dalam rumah tangga pada situasi mendesak dapat
dilakukan istri, meskipun nantinya ia harus memberikan laporan pada suaminya.
Namun perlu diingat bahwa tanggung jawab utama tetap ada pada tangan suami
sebagai kepala istri.
4. Ayah Terhadap Anak
Tugas lain yang perlu diperhatikan sebagai seorang kepala keluarga
adalah peran sebagai ayah terhadap anak-anaknya. Peran ini pun tidak secara
otomatis bisa dilakukan dengan baik dan benar bila tidak dilandasi dengan
pemahaman Firman Tuhan yang baik dan benar pula. Oleh karena itu, uraian di
bawah ini berpusat pada Firman Tuhan agar dapat menolong para kepala keluarga
dalam menjalankan fungsinya sebagai ayah.
Mengasihi anak. Tuhan Yesus
sangat mengasihi anak-anak. Ia membuka diri terhadap kehadiran anak-anak dan
memberkati mereka. Bahkan siapa saja yang menyambut kehadiran seorang anak sama
artinya dengan me-nyambut kehadiran-Nya (Mat 18:5). Sedemikian berharganya anak
bagi Yesus, maka Dia memperingatkan kita agar tidak memandang rendah anak-anak
(Mat 18:10).
Hal yang sama perlu dilakukan oleh seorang ayah terhadap anak-anak
yang dipercayakan Tuhan hadir dalam keluarganya. Paul D. Meier, M.D. dalam
bukunya “ Membesarkan Anak Dan Pengembangan Watak Secara Kristen ” menyatakan
bahwa orang tua juga harus menganggap anak-anak mereka sebagai suatu pribadi
yang bernilai. Pribadi yang memerlukan kasih sejati, perhatian dan dorongan
dari mereka dan hal ini dapat ditunjukkan terlebih dahulu dengan sikap
saling mengasihi antara suami dan istri.
Mengasihi anak berarti rela berkorban bagi kebahagiaan anak. Hal ini
tidak berarti bahwa segala keinginan anak harus dipenuhi. Adakalanya pukulan
harus diberikan bila perlu. Semuanya itu harus dalam konteks kasih. Kegagalan
seorang ayah dalam mengasihi anak-anaknya secara baik dan benar akan
mengakibatkan anak-anak menjadi bebal dan Ams 17:25 menegaskan bahwa “Anak yang
bebal menyakiti hati ayahnya, dan memedihkan hati ibunya.” Sebaliknya, kasih
yang diberikan secara tepat akan membuat “Ayah seorang yang benar akan
bersorak-sorak; yang memperanakkan orang-orang yang bijak akan bersukacita
karena dia.” (Ams 23:24)
Mendidik anak. Banyak para
ahli berpendapat bahwa masa usia enam tahun pertama merupakan masa pembentukan
kepribadian seseorang. (Meier, n.d.: 33). Masa ini merupakan masa “emas” bagi
seorang ayah untuk mendidik anak agar terbentuk kepribadian yang sesuai dengan
Firman Tuhan. Karena itu sangat penting bagi seorang ayah untuk mulai mendidik
anak sejak dini agar masa “emas” tersebut dapat dilalui dengan baik.
Ada dua hal yang perlu diperhatikan oleh seorang ayah dalam mendidik
anak-anaknya :
Mendidik dalam pengajaran &
nasehat Firman Tuhan. Alkitab menegaskan bahwa seorang ayah “ … janganlah
bangkitkan kemarahan di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam
ajaran dan nasihat Tuhan. (Ef 6:4). Ini memberi petunjuk bahwa dalam mendidik
anak, ada hal-hal yang harus diperhatikan :
Didikan yang diberikan jangan sampai membangkitkan amarah dalam diri
anak. Artinya jangan terus-menerus menggusari dan mencari-cari kesalahan
anak-anak, sehingga membuat mereka marah dan jengkel. Memang selama proses
pendidikan dalam keluarga, anak dapat saja berbuat salah. Mungkin karena aturan
tidak jelas, perintah tidak dipahami atau memang anak tersebut bandel. Namun
sepanjang hal itu masih dapat ditolelir, pemberian nasehat dan penjelasan yang
mudah dipahami anak akan lebih bermanfaat daripada hukuman fisik secara
langsung. Terlebih lagi mengungkit-ungkit kesalahan anak yang sudah lalu akan
melukai perasaan anak dan menimbulkan perasaan bersalah berkepanjangan, rendah
diri dan dendam.
Didikan yang diberikan harus bepusat pada ajaran dan nasihat Tuhan.
Pengetahuan pertama yang harus diberikan pada anak adalah pengertian tentang
takut akan TUHAN dan pengenalan akan Tuhan. (Ams 2:5). Seorang ayah (didukung
oleh istrinya) bertanggung jawab untuk memberi didikan alkitabiah dan rohani
kepada anak-anak dalam keluarga. Hal ini bukan tugas gereja atau sekolah
Minggu. Gereja dan sekolah Minggu hanya membantu didikan dari orang-tua.
Mendidik dengan cara yg sesuai. Ajarlah
seorang anak cara hidup yang patut baginya, maka sampai masa tuanya ia akan
hidup demikian. (Ams 22:6, BIS). Ayat ini mengingatkan kita bahwa dalam
mendidik anak perlu dipikirkan cara yang sesuai untuk tiap tingkatan umur anak.
Cara mendidik anak usia 3 tahun akan berbeda dengan usia anak 6 tahun, 12 tahun
dst. Tiap-tiap masa perkembangan anak memerlukan cara yang berbeda. Namun
semuanya itu harus berpusat pada satu hal yaitu melatih anak cara hidup yang
patut baginya. Artinya, melatih anak untuk memilih jalan yang benar sesuai
dengan Firman Tuhan.
Paul D. Meier menyatakan bahwa sekitar 85% kepribadian seorang dewasa
telah terbentuk pada saat usia 6 tahun. Setelah usia 6 tahun tersebut, maka
yang dapat dilakukan adalah memoles sisa yang 15% itu guna membentuk anak
menjadi remaja Kristen yang ideal. (Meier, n.d : 95).
Tampak bahwa 6 tahun pertama kehidupan anak merupakan masa “emas”
untuk menanamkan nilai-nilai kebenaran Alkitabiah pada diri seorang anak. Masa
ini juga akan menjadi masa “kritis” bila seorang ayah gagal memanfaatkan waktu
yang berharga ini. Mengapa ? Karena “... sampai masa tuanya ia akan hidup
demikian.”
Mendisiplin anak-anak. “Di
manakah terdapat anak yang tidak dihajar oleh ayahnya?” (Ibr 12:7). Ini
merupakan pertanyaan yang ditujukan bagi setiap ayah yang sedang mendidik
anak-anaknya. Hajaran (chasten = disiplin) merupakan otoritas yang dimiliki
seorang ayah untuk mendisiplin anak. Ketika anak harus didisiplin, seorang ayah
harus tanpa ragu menggunakan otoritas ini. Kegagalan sang ayah menerapkan
disiplin pada anak akan mengakibatkan anak menjadi bebal dan akan “ menyakiti
hati ayahnya, dan memedihkan hati ibunya.” (Ams 17:25).
“Selanjutnya: Dari ayah kita yang sebenarnya kita beroleh ganjaran,
dan mereka kita hormati ;” (Ibr 12:9). Disiplin pertama yang harus diperoleh
anak-anak adalah di dalam keluarganya, dari sang ayah. Jangan takut untuk
melaksanakan disiplin. Jangan berpikir bahwa anak-anak akan membenci anda bila
mereka didisiplin. Alkitab menegaskan bahwa bila disiplin dilaksanakan dengan
baik dan benar maka anak-anak akan menghormati ayah mereka. Peringatan Alkitab
berikut ini perlu diperhatikan : “Siapa tidak menggunakan tongkat, benci kepada
anaknya; tetapi siapa mengasihi anaknya, menghajar dia pada waktunya. (Ams
13:24). Dengan disiplin maka diharapkan anak-anak akan hidup dalam ketaatan dan
kekudusan.
Dalam melakukan disiplin pada anak-anak harus diperhatikan dua hal
berikut ini :
Jangan bangkitkan amarah. “Jangan
terus-menerus menggusari dan mencari-cari kesalahan anak-anak Saudara, sehingga
membuat mereka marah dan jengkel.” (Efesus 6:4). Ini merupakan nasihat yang
berharga bagi seorang ayah dalam mendisiplin anaknya. Anak harus mendapat
penjelasan yang bisa dia mengerti mengapa ayahnya marah, mengapa dia tidak
boleh bermain, mengapa dia tidak boleh jajan, dsb. Penjelasan yang dilandasi
kasih akan menentramkan hati anak yang mungkin juga ikut terbawa emosi,
sehingga dia memahami maksud dari disiplin itu.
Jangan mengungkit-ungkit kesalahan yang sudah lalu. Anak biasanya
lebih cepat melupakan hal-hal yang sudah berlalu karena dia lebih mudah
memberikan pengampunan. Bila ayahnya mengungkit-ungkit lagi maka sama artinya
mengorek luka yang sudah lama dan akan berakibat anak menjadi marah, jengkel
dan timbul dendam Hindarilah hal yang demikian. Lebih baik “... didiklah mereka
dengan tata tertib yang penuh kasih dan yang menyukakan hati Tuhan, dengan
saran-saran dan nasihat-nasihat berdasarkan Firman Tuhan.” (Efesus 6:4).
Jangan sakiti hati anak. Penerapan
disiplin tidak dimaksudkan untuk menyakiti hati anak. Memang pada saat
diberikan, disiplin akan mendukakan hati anak (Ibr 12:11). Tetapi sesudah itu
kita akan melihat hasilnya, yaitu pertumbuhan dalam hidup kerohanian anak.
Disiplin itu menyebabkan anak hidup menurut kemauan Tuhan, dan menghasilkan
perasaan sejahtera pada dirinya.
Nasihat dari Amsal berikut ini patut direnungkan seorang ayah :
“Didiklah anakmu, maka ia akan memberikan ketenteraman kepadamu, dan
mendatangkan sukacita kepadamu.”(Ams 29:17).
5. Kebutuhan Suami
Tak bisa dipungkiri bahwa, selain memiliki tugas dan tanggung jawab
yang harus dilaksanakan, seorang suami juga memiliki berbagai kebutuhan pribadi
yang perlu dipenuhi. Beberapa di antaranya akan dibahas dalam point ini.
Dihormati & Dihargai Sebagai
suami, kebutuhan ini melekat dengan sendirinya. Ini bukanlah “rasa haus” akan
hormat dan penghargaan dari seorang suami, tetapi karena memang Tuhan telah
mengaturnya sedemikian rupa sehingga suami mendapat hak untuk dihormati dan
dihargai. Bisa anda bayangkan bila seorang suami tidak dihargai dan dihormati
oleh istrinya. Suami tidak akan dapat berfungsi sebagaimana mestinya
Sebagai kepala istri, dihormati berarti dijaga nama baik dan harga
dirinya. Dengan segala keterbatasan dan kekurangan yang ada dalam diri suami,
tidak mengurangi kebutuhan akan rasa hormat ini. Seorang istri yang dapat
menjaga nama baik dan harga diri suaminya akan mendorong suami memimpin keluarga
dengan lebih baik lagi.
Demikian pula dengan penghargaan dari istri kepada suami. Menghargai
suami berarti memberikan perhatian dan memandang penting keberadaan suami.
Kegagalan seorang istri untuk memberikan penghargaan yang layak pada suaminya
sama artinya dengan pelecehan terhadap posisi suami sebagai kepala istri.
Amsal 12:4 mengingatkan kita bahwa “ Isteri yang cakap adalah mahkota
suaminya, tetapi yang membuat malu adalah seperti penyakit yang membusukkan
tulang suaminya.”
Semangat & Penghiburan Suami
anda bukanlah seorang yang sempurna atau yang tidak pernah mengalami kegagalan.
Ada saatnya dimana seorang suami mengalami patah semangat dalam menjalani
kehidupan ini. Mungkin dikarenakan tekanan dalam pekerjaannya, di PHK, usaha
bangkrut, ditipu orang lain, kenakalan anak-anak atau berbagai hal lainnya.
Inilah merupakan saat yang tepat bagi seorang istri untuk menunjukkan
kualitasnya sebagai penolong yang sepadan bagi suaminya. Dia tidak lari dari
tanggung jawabnya sebagai istri, tetapi siap memberikan semangat baru dan
penghiburan bagi suaminya. Perkataannya “... seperti sarang madu, manis bagi
hati dan obat bagi tulang-tulang.” (Ams 16:24) dan “Hati suaminya percaya
kepadanya, suaminya tidak akan kekurangan keuntungan.” (Ams 31:11). Betapa
beruntungnya suami yang mendapatkan istri seperti ini karena “ Ia lebih berharga
dari pada permata.” (Ams 31:10)
Tahu bahwa dia andalan
keluarga. Banyak suami yang tidak menyadari bahwa dia merupakan andalan
bagi keluarganya. Diandalkan tidak hanya sebagai tulang punggung keluarga,
tetapi juga secara khusus sebagai “seorang bapak” bagi istrinya. Seorang yang
menjadi pengayom dan pelindung bagi keluarganya.
Praktek-praktek seperti “menyunat” gaji sebelum diberikan pada istri,
lebih mementingkan kesenangan pribadi (mis : olah raga, memelihara burung,
dsb.) atau lebih mengutamakan pekerjaan di atas segalanya, merupakan beberapa
contoh yang menunjukkan bahwa kesadaran akan keberadaan suami sebagai andalan
keluarga kurang mendapat perhatian sebagaimana mestinya.
Istri harus berperan aktif untuk memberikan masukan bagi suaminya.
Pemusatan perhatian suami terhadap satu hal (mis. pekerjaan) dapat menyebabkan
perhatiannya terhadap keluarga menjadi berkurang, meskipun pada akhirnya hasil
yang diperoleh suami digunakan untuk kepentingan keluarga. Namun, peran suami
tidak sebatas hanya sebagai tulang punggung keluarga, tetapi dia juga harus
memberikan perhatian dan waktunya bagi keluarga, terutama istrinya.
Ketundukan istri kepada suaminya tidak menghilangkan kewajiban istri
untuk “menjaga” suaminya. Tuhan menganugerahkan akal budi kepada seorang istri
untuk melihat berbagai hal yang terjadi dalam keluarganya. Bila terjadi hal-hal
yang dianggap merugikan keharmonisan atau keutuhan keluarga, maka istri harus
cepat tanggap memberikan masukan kepada suaminya. Namun, Istri harus tetap mengandalkan
suami dalam menentukan keputusan akhir. Bagi suami, “… istri yang berakal budi
adalah karunia TUHAN.” (Ams 19:14).
6. Kewajiban Bersama Suami-Istri
Keluarga merupakan lembaga yang Tuhan dirikan. Di dalamnya terdapat
hak dan kewajiban yang dimiliki oleh suami istri. Semuanya itu diatur oleh
Tuhan sedemikian rupa sehingga salah satu pihak tidak merasa lebih unggul dari
pihak lainnya. Tuhan mengasihi anda dan pasangan anda. Tidak ada yang menjadi
“anak emas”.
Karena itu, ada kewajiban bersama yang harus dilakukan oleh suami
istri secara bersamaan agar keduanya menyadari bahwa mereka saling membutuhkan.
Kekurangan pasangan kita diisi oleh kelebihan kita dan kekurangan kita diisi
oleh kelebihan pasangan kita. Dengan demikian terjadi keseimbangan dalam menjalani
kehidupan berkeluarga ini.
Kewajiban bersama yang dimaksud adalah sebagai berikut :
Saling mengasihi. Suami dan
istri dipanggil untuk saling mengasihi. Ayat-ayat Alkitab berikut ini : “Hai
suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah
menyerahkan diri-Nya baginya.” (Ef 5:25). “Dan dengan demikian mendidik
perempuan-perempuan muda mengasihi suami dan anak-anaknya...” (Tit 2:4),
menyatakan tanggung jawab dari sikap saling ketaatan. Yaitu tiap pihak secara
sukarela mengasihi dan mau taat terhadap yang lain. Ketaatan yang bersifat
timbal balik ini memberikan kepada suatu keluarga dasar yang kuat.
Saling merendahkan diri. Saling
merendahkan diri di dalam Kristus adalah suatu prinsip rohani yang umum.
Alkitab menegaskan pada suami istri agar “ ... rendahkanlah dirimu seorang
kepada yang lain di dalam takut akan Kristus.” (Ef 5 :21). Prinsip ini harus
diterapkan pertama-tama dalam keluarga Kristen. Ketundukan, kerendahan hati,
kelembutan, kesabaran, dan toleransi harus merupakan ciri khas dari setiap
anggota keluarga Kristen. Istri harus tunduk (yaitu, tunduk di dalam kasih)
kepada tanggung jawab suaminya selaku pemimpin dalam keluarga. Suami harus
tunduk kepada kebutuhan istrinya dengan sikap kasih dan pengorbanan diri.
Jika setiap pasangan suami isteri Kristen memberlakukan prinsip ini
dalam rumah tangganya, dapat dipastikan bahwa tidak ada suami yang menindas
isteri dan tidak ada isteri yang tidak tunduk dan tidak hormat kepada suami,
karena mereka saling memperlakukan dengan penuh kasih sayang dan hormat.
Saling memenuhi kewajiban. Dalam
kekristenan, suami dan istri masing-masing mempunyai hak untuk mendapatkan
kesetiaan yang penuh dari pasangannya. “Hendaklah kamu semua penuh hormat
terhadap perkawinan dan janganlah kamu mencemarkan tempat tidur, sebab
orang-orang sundal dan pezinah akan dihakimi TUHAN.” (Ibr 13:4) Beberapa
kelompok masyarakat hanya mengharapkan kesetiaan pihak istri, namun standar
Tuhan adalah kesetiaan oleh tiap pihak. Setiap pihak berkewajiban untuk
memenuhi hak yang dimiliki pasangannya. Alkitab menegaskan hal ini dengan
menyatakan bahwa “Hendaklah suami memenuhi kewajibannya terhadap istrinya,
demikian pula istri terhadap suaminya.” (1Kor 7:3).
Saling mempercayai. Menurut
KBBI, makna kata percaya berarti yakin benar atau memastikan akan kemampuan
atau kelebihan seseorang atau sesuatu (dapat memenuhi harapan, jujur,
bertanggung jawab, dsb.).
Dalam Ams 31:11 ditegaskan bahwa terhadap istri yang cakap “Hati
suaminya percaya kepadanya, suaminya tidak akan kekurangan keuntungan.” Ini
berarti bahwa sang suami yakin benar atas kemampuan istrinya dalam mengelola
rumah tangga dan menjadi penolong yang sepadan baginya sehingga ia dapat
menaruh kepercayaan kepadanya.
Demikian pula pada bagian lain dalam Alkitab, Efesus 5:22 “Hai istri,
tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, “ dan ditegaskan lebih lanjut
dalam Efesus 5:24, bahwa ketundukan tersebut mencakup “dalam segala sesuatu.”
Hal ini menunjukkan bahwa ada suatu keyakinan pada sang istri akan kemampuan
suaminya untuk memenuhi harapan, bersikap jujur dan bertanggung jawab terhadap
keluarganya, khususnya sang istri.
7. Kesimpulan
“ Jikalau bukan TUHAN yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang
yang membangunnya; “ (Mzm 127:1). Ayat ini mengingatkan kita bahwa keluarga
adalah milik Tuhan. Ia menciptakannya. Ia menentukan susunan intinya. Ia
menentukan maksud dan tujuannya. Rumah tangga yang kita bangun selama ini tetap
menjadi hasil karya-Nya.
Karena itu pemahaman akan fungsi, tugas dan tanggung jawab, hak dan
kewajiban masing-masing pihak dalam keluarga perlu diselaraskan dengan Firman
Tuhan. Tanpa itu, mustahil sebuah keluarga dapat berkenan di hadapan Tuhan,
memuliakan nama-Nya dan mencapai tujuan Tuhan serta menjadi bagian dari tujuan
itu. Perlu tekad yang sungguh-sungguh untuk melaksanakan kehendak-Nya dalam
kehidupan keluarga kita.
Pemberian otoritas oleh Kristus pada suami untuk memimpin keluarga
merupakan suatu kepercayaan yang perlu dipertanggung-jawabkan kelak
dihadapan-Nya. Bukan untuk menjadi diktator , tetapi menjadi teladan yang utama
bagi seluruh anggota keluarganya. Menjadi teladan dalam perkataan, dalam
tingkah laku, dalam kasih, dalam kesetiaan dan dalam kemurnian. (1Tim 4:12).
Menjadi kepala keluarga mempunyai fungsi ganda : sebagai suami
terhadap istrinya dan sebagai ayah terhadap anak-anaknya. Kedua fungsi ini
memerlukan pemahaman tersendiri, bukan sesuatu yang dapat dilakukan sambil
lalu. Di dalamnya terdapat tugas dan tanggung jawab yang telah Tuhan tetapkan.
Kegagalan melakukan fungsi ini sesuai dengan tuntunan Firman Tuhan dapat
berakibat hancurnya sebuah keluarga. Kepala keluargalah yang harus
mempertanggung-jawabkan maju mundurnya sebuah keluarga yang dipimpinnya di hadapan
Kristus kelak.
Jadilah anda suami yang bertanggung jawab, mengasihi Tuhan dan istri
serta menjadi ayah yang baik bagi anak-anak yang Tuhan percayakan kepada anda.
Ingatlah bahwa hidup anda sekarang di dalam Kristus adalah sebagai ciptaan baru
yang tidak lagi hidup untuk diri anda sendiri, tetapi untuk Dia yang telah mati
dan telah dibangkitkan untuk anda. Tuhan Yesus mengasihi keluarga Anda.
Tidak ada suami yang sempurna. Tidak ada kepala keluarga yang siap
100% untuk menjadi kepala keluarga yang sempurna. Berbagai keterbatasan dan
kekurangan - baik secara fisik ,mental dan pikiran - yang ada dalam diri
seorang suami membuatnya sadar bahwa dia memerlukan seorang penolong dan Allah
telah merespon hal ini dengan memberinya seorang istri. Seseorang yang di mata
Tuhan dapat menjadi penolong yang sepadan bagi suami.
Ketidaksempurnaan sebagai seorang suami tidak perlu membuatnya
berputus asa, tetapi seharusnya mendorong dia untuk terus belajar memahami dan
mempraktekkan kebenaran Firman Tuhan dalam kehidupannya. Perubahan demi
perubahan akan dialami bila secara konsisten taat pada Firman Tuhan. Keadaan
yang lebih baik sudah ada di depan mata selama suami mengandalkan Tuhan Yesus,
bukan kemampuan dan kekuatan dirinya.
Berbagai kesalahan di masa lalu dalam memimpin keluarga ja-nganlah
menjadi beban berat yang memperlambat langkah kaki anda dalam perjalanan menuju
ke masa depan. “Tetapi kalau kita mengakui dosa-dosa kita kepada Tuhan, Ia akan
menepati janji-Nya dan melakukan apa yang adil. Ia akan mengampuni dosa-dosa
kita dan membersihkan kita dari segala perbuatan kita yang salah.” (1Yoh 1:9,
BIS). Nasihat Paulus penting untuk kita perhatikan agar kita mendapat semangat
baru menyongsong masa depan : “Aku melupakan apa yang telah di belakangku dan
mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku, dan berlari-lari kepada tujuan
untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan surgawi dari Bapa dalam Kristus
Yesus.” (Flp 3:13,14).
Panggilan surgawi anda dalam pernikahan Kristen adalah menjadi seorang
suami yang memenuhi kehendak Tuhan. Karena itu pembaharuan dan pemulihan dalam
keluarga anda merupakan suatu kebutuhan yang mendesak, terutama dalam diri anda
sebagai seorang kepala keluarga. Berlarilah kepada tujuan untuk memperoleh
hadiah sorgawi yaitu sukacita dan berkat-berkat. “Bertumbuhlah bersama dalam
kasih karunia”. Amin.
Trima kasih. TYM...
ReplyDelete:)
ReplyDelete