2017 ~ Mother Wise

A lot of people want to do great things for God. A lot of people want to change the world. I just shake my head when I hear that. God is the only one who can change the world because He’s the only one who can change hearts and minds.

Purpose

woman who understand their purpose eventually loved by special man

Goal

The goal of prayer is not to change God’s mind about what you want. The goal of prayer is to change your own heart, to want what He wants, to the glory of God.

Prayer

Prayer was talking and listening and being excited to spend time with someone who loves you.

Love

Darkness cannot drive out darkness: only light can do that. Hate cannot drive out hate: only love can do that.

Wednesday, November 8, 2017

Pikul Salib

Pendalaman: Sangkal diri harga yang harus di bayar oleh setiap hati yang mengikut YESUS KRISTUS dengan setia sampai akhir
Panggilan Kristiani tertinggi dalam hal mengikut Yesus Kristus adalah menyangkal diri dan memikul salib (Matius 16:24). Ah, siapa yang suka? Dapat dipastikan, tidak akan ada yang menyukainya. Sekalipun dalam basa basi agama hal ini sering terucap. Namun, dalam kenyataan hal itu susah terlihat. Manusia sangat mencintai dirinya. Bagaimana mungkin dia diminta untuk menyangkalinya? Narsis, individualis, egois, adalah natur berdosa yang sering kali mencolok dalam kehidupan ini. Karna itu, menjadi pertanyaan penting sejauh mana kita mencintai DIA dan mengikuti perintah NYA.
Sangkal diri, bukanlah menyiksa diri (askese) seperti yang banyak dilakukan umat diabad pertengahan. Atau ritual puasa yang dijalankan untuk menunjukkan penyesalan atau sebaliknya, yaitu kesalehan. Sangkal diri adalah penguasaan diri atas keinginan diri. Ada banyak keinginan kita yang tak bertepi. Mulai dari materi yang tak pernah cukup sehingga kita melegalisasi segala cara. Keinginan tubuh yang yang tak pernah puas, yang membuat kita rela menghabiskan uang yang tidak sedikit. Namun jika soal pelayanan kita bisa jadi sangat perhitungan untung rugi. Pakaian, makanan, hiburan, gaya hidup yang berubah menjadi identitas dan harga diri. Belum lagi soal emosi yang seringkali tidak terkendali. Mengumbar marah, dan selalu mau menang sendiri. Sangkal diri, adalah penguasaan diri dengan pertolongan Roh Kudus sebagai buah hidup orang percaya yang sudah semestinya ada dan nyata. Sehingga, setiap keinginan yang ada dapat diredam dan kita belajar hidup cukup dalam rasa syukur. Tak hidup memuaskan diri, melainkan rela berbagi dengan sesama. Dengan sangkal diri hidup tak lagi self oriented, melainkan Christ oriented (Filipi 2:5-8). Dengan sangkal diri kita membangun hidup yang penuh arti, dan selalu menjadi saksi NYA.
Sementara pikul salib, juga bukan penderitaan, atau aniaya, karena kesalahan sendiri. Itu adalah konsekwensi logis sebab akibat. Pikul salib adalah penderitaan karena kebenaran. Itu sebab dalam khotbah di bukit Tuhan Yesus berkata; Berbahagialah orang yang dianiaya karena kebenaran, sebab merekalah yang empunya Kerajaan sorga (Matius 5:10). Kebenaran memang membawa kita pada situasi tidak nyaman. Terasing dari jalan dunia yang memuaskan kedagingan. Tak bisa menghalalkan segala cara untuk mencapai yang diinginkan. Dan, cemooh atau fitnah yang menghujam deras, mencabik harga diri, namun harus tetap menahan diri. betapa tidak nyamannya. Pikul salib bukan tak boleh hidup kaya, atau tak boleh makan enak, melainkan hidup berbeda dengan nilai dunia. Semua yang kita lakukan harus mencerminkan kebenaran yang seutuhnya. Nah, konsekwensi yang datang dari hidup benar, itulah pikul salib. Sudah bisa dibayangkan betapa beratnya hidup benar diantara orang tidak benar, atau hidup terang dikegelapan hidup. Namun inilah panggilan Kristiani yang harus kita jawab.
Dikematian NYA diatas kayu salib, Yesus Kristus telah mengalahkan dosa. Namun jangan lupa, untuk itu DIA menyangkal ke Illahian NYA, menjadi sama dengan manusia. Dan, DIA telah rela diolok dan memikul salib menuju bukit Golgota. Banyak perempuan Sion yang menangisi diri NYA, namun dengan tegas Yesus berkata; Tangisilah dirimu sendiri! Kebenaran menjadi kekuatan utama menjalani perjalanan salib. Karena itu sangkal diri dan pikul salib bukan malapetaka, melainkan panggilan bahagia. Ada kekuatan yang luar biasa, yaitu kasih Kristus yang menyukakan hati. Seorang ibu menjadi kuat membesarkan anaknya, bahkan dikesendiriannya, itu karena kasih pada anaknya. Terlebih lagi kasih Yesus Kristus yang maha besar dan tak terhingga itu.
Kasih dalam kematian diatas kayu salib, dan kuasa kebangkitan yang mutlak telah nyata didalam Yesus Kristus. Giliran kita mendemonstrasikan kuasa salib Kristus sebagai panggilan Kristiani, tapi bukan demo keagamaan.
Ketika kematian bukan lagi masalah, maka hidup kita mestinya adalah pengabdian tiada henti kepada KRISTUS.amin

Penjala Manusia

Pendalaman : Mengenal Petrus sang penjala ikan yang di panggil oleh TUHAN YESUS sebagai penjala manusia.
Pada suatu kali Yesus berdiri di pantai Danau Genesaret, sementara orang banyak mengerumuni Dia hendak mendengarkan firman Allah. Ia melihat dua perahu di tepi pantai. Nelayan-nelayannya telah turun dan sedang membasuh jalanya. Ia naik ke dalam salah satu perahu itu, yaitu perahu Simon, dan menyuruh dia mendorong perahunya sedikit jauh dari pantai. Lalu Ia duduk dan mengajar orang banyak dari atas perahu. Setelah selesai berbicara, Ia berkata kepada Simon, “Bertolaklah ke tempat yang dalam dan tebarkanlah jalamu untuk menangkap ikan.” Simon menjawab, “Guru, telah sepanjang malam kami bekerja keras dan kami tidak menangkap apa-apa, tetapi karena perkataan-Mu itu, aku akan menebarkan jala juga.” Setelah mereka melakukannya, mereka menangkap sejumlah besar ikan, sehingga jala mereka mulai koyak. Lalu mereka memberi isyarat kepada teman-temannya di perahu yang lain supaya mereka datang membantunya. Mereka pun datang, lalu bersama-sama mengisi kedua perahu itu dengan ikan hingga hampir tenggelam. Ketika Simon Petrus melihat hal itu ia pun sujud di depan Yesus dan berkata, “Tuhan, pergilah dari hadapanku, karena aku ini seorang berdosa.” Sebab ia dan semua orang yang bersama-sama dengan dia takjub oleh karena banyaknya ikan yang mereka tangkap; demikian juga Yakobus dan Yohanes, anak-anak Zebedeus, yang menjadi teman Simon. Kata Yesus kepada Simon, “Jangan takut, mulai sekarang engkau akan menjala manusia.” Sesudah menarik perahu-perahunya ke darat, mereka pun meninggalkan segala sesuatu, lalu mengikut Yesus. (Luk 5:1-11)
Bacaan Pertama: Kol 1:9-14; Mazmur Tanggapan: Mzm 98:2-6
Sebelum terjun ke dalam karya pelayanan-Nya di depan publik, Yesus relatif tidak dikenal. Namun setelah Ia kembali dari puasa-Nya di padang gurun, dengan cepat Yesus menarik perhatian orang banyak lewat karya-karya-Nya dalam pengusiran roh-roh jahat, penyembuhan dan mukjizat-mukjizat lainnya. Setelah menentukan misi-Nya, Yesus langsung mulai memanggil beberapa orang untuk menjadi murid-murid-Nya – mereka yang dapat diajar-Nya dan dibentuk-Nya supaya dapat menjadi duta-duta-Nya kelak.
Injil Lukas menceritakan bahwa murid-murid pertama yang dipanggil oleh Yesus adalah Simon Petrus, seorang nelayan yang kelak akan memimpin Gereja-Nya yang kelak berekspansi keluar Israel mencapai dunia yang dikenal pada waktu itu.
Sekarang, marilah kita membayangkan betapa Yesus memiliki wibawa dan kuat-kuasa, seorang yang penuh kharisma. Kitab Suci dan tradisi menggambarkan Simon Petrus sebagai seorang pribadi yang emosional, cepat marah, namun ketika Yesus muncul untuk mengajar orang banyak, Petrus langsung saja mengiyakan permintaan Yesus untuk meminjamkan perahunya sebagai “mimbar khotbah”. Kemudian, setelah selesai berkhotbah, Yesus berkata kepada Petrus untuk bertolak ke tempat yang dalam dan menebarkan jalanya untuk menangkap ikan. Ia berkata: “Guru, telah sepanjang malam kami bekerja keras dan kami tidak menangkap apa-apa, tetapi karena perkataan-Mu, aku akan menebarkan jala juga” (Luk 5:5). Tentunya Petrus telah dibuat terpesona/takjub atas pengajaran yang baru saja diberikan oleh Yesus kepada orang banyak, sehingga dia tidak saja mematuhi keinginan Yesus, dia juga menyapa Yesus sebagai GURU, suatu gelar yang mengandung respek mendalam seseorang terhadap wibawa dan kuasa yang dimiliki orang yang disapanya.
Alhasil, Petrus dkk. di dalam perahunya berhasil menjala ikan-ikan dalam jumlah besar, sehingga jala yang dipakai pun menjadi koyak dan mereka pun harus minta bantuan para nelayan lain yang ada di perahu lain. Bayangkan, kedua perahu itu pun hampir tenggelam karena sarat muatan ikannya. Mukjizat penangkapan ikan ini sungguh membuat Simon Petrus menjadi rendah hati dan melihat dirinya sedemikian kecil di hadapan Yesus. Sesuatu yang penuh kuat-kuasa telah terjadi di dalam dirinya, mendorongnya untuk meninggalkan segalanya di belakang guna mengikuti sang Guru. Sejak saat itu tentunya Petrus tidak lagi memandang Yesus sebagai seorang guru seperti guru-guru yang lain, juga bukan sebagai seorang bijaksana yang pantas dihargai serta dihormati.
Pernyataan diri (perwahyuan) Yesus lewat mukjizat ini membuat Petrus sujud di depan Yesus dan berkata: “Tuhan, pergilah dari hadapanku, karena aku ini seorang berdosa.” (Luk 5:8). Kata Tuhan ini adalah terjemahan dari kata Yunani Kyrios, adalah kata yang sama yang digunakan dalam menerjemahkan kata YHWH dalam Perjanjian Lama bahasa Yunani, artinya ALLAH sendiri. Lewat perwahyuan, Petrus mampu memandang bahwa Yesus berada di atas segala orang lain.
KEEP ON FIRE: pengalaman Petrus ini adalah suatu pengalaman yang Yesus ingin agar kita alami juga: suatu perwahyuan yang tidak hanya membukan pikiran kita, melainkan juga menembus hati kita juga. Yesus ingin menyatakan kemuliaan-Nya kepada kita masing-masing, dengan demikian mendesak kita untuk mengikuti jejak-Nya sama radikalnya dengan apa yang telah dilakukan oleh Petrus.
Tuhan berjanji, apabila kita melakukannya, maka kita pun akan mengalami kehidupan-Nya yang sangat indah.
DOA: Roh Kudus Allah, tolonglah kami untuk memandang Yesus tidak hanya sebagai seorang Guru yang pantas dihormati, melainkan teristimewa sebagai Kyrios langit dan bumi, yang pantas kami percayai, kasihi dan taati perintah-perintah-Nya. Roh Allah, tanamkanlah pengetahuan ini ke dalam hati kami masing-masing agar apa yang telah Simon Petrus lakukan juga bisa kami terapkan dalam kehidupan Rohani kami. Berkatilah kami dengan Kuat KuasaMu dan mampukanlah kami seperti yang Engkau ingini. Dalam nama YESUS KRISTUS..Amin.

Persembahan Yang Harum?

Pendalaman : Doa yang dilahirkan dari hati yang sungguh-sungguh merupakan DUPA YANG HARUM bagi Allah Bapa di sorga
Apakah Anda pernah memikirkan, kira-kira bau seperti apa yang disukai oleh TUHAN ?
Yukk...Mari kita selidiki Perjanjian Lama dan juga kitab Injil untuk mengetahui bau apa yang menyenangkan bagi TUHAN.
A. Pembelajaran ke 1 :
Dalam Keluaran 30 dituliskan tentang mezbah emas dan pembakaran ukupan tempat dupa di bakar. Pembakaran ukupan tempat dupa dibakar itu berada di Ruang Kudus, tepat dibagian luar tabir yang memisahkan Ruang Kudus dan Ruang Maha Kudus.
Di mezbah itu,, sebagai imam harus membakar dupa yang wangi setiap hari ketika ia menjalankan tugasnya.
Pada akhir ayat 35 dituliskan bahwa ukupan yang dibakar itu "digarami, murni, kudus." Dupa itu dikategorikan sebagai sesuatu yang kudus bagi Allah dan dikhususkan untuk satu tujuan. Bahasa Ibrani untuk parfum adala 'qetoreth' yang artinya dupa atau parfum, tetapi arti lainnya adalah "asap yang wangi dari persembahan'.
Ruang Maha Kudus adalah tempat TUHAN berjumpa dengan imam besar yang mewakili bangsa Israel. Jadi jika Ruang Maha Kudus tempat dimana Tuhan hadir di antara umat Israel, jadi tabir yang memisahkan Ruang Kudus dan Ruang Maha Kudus adalah pintu depannya Tuhan. Hal itu membuat pembakaran ukupan menjadi bel pintu bagi Musa dan Harun. Dupa yang dibakar secara terus menerus naik dari mezbah pengorbanan adalah bau yang menyenangkan Tuhan dan menggambarkan bahwa bangsa Israel mentaati perintah Tuhan tentang Tabernakel.
Apa artinya hal di atas bagi kita yang hidup di jaman ini?
Setiap bagian Tabernakel di Perjanjian Lama menunjuk kepada KRISTUS dan pengorbanannya di kayu salib.
Ketika YESUS KRISTUS mati di salib, tabir pemisah di bait Allah robek menjadi dua: Menyatakan bahwa pintu depan rumah TUHAN kini selalu terbuka kepada semua yang mau menerima Yesus Kristus sebagai juru selamat pribadinya.
B. Pembelajaran ke 2 :
Dalam Wahyu 5:8 juga dituliskan tentang dupa ini, "Ketika Ia mengambil gulungan kitab itu, tersungkurlah keempat makhluk dan kedua puluh empat tua-tua itu di hadapan Anak Domba itu, masing-masing memegang satu kecapi dan satu cawan emas, penuh dengan kemenyan: itulah doa orang-orang kudus."
Itu dia. Kemenyan, yang dibakar secara terus menerus oleh Harun di Perjanjian Lama, menunjuk kepada doa yang kita naikan kepada Tuhan. Doa-doa kita, adalah seperti dupa, yang harus digarami, dimurnikan dan kudus. Hal itu adalah asap yang harum dari persembahan dan bau yang menyenangkan TUHAN
Doa-doa kita seharusnya selalu dinaikkan dengan penuh rasa hormat dan kagum kepada TUHAN.
Doa seharusnya murni dan berasal dari dalam hati yang rindu menyenangkan TUHAN dan mentaati perintah-Nya. Terkadang doa-doa kita juga pengorbanan, terutama saat kita berdoa menurut kehendak TUHAN dan bukan kehendak kita sendiri. 

Materi Ispiratif:
Oswald Chambers, seorang penginjil dari tahun 1900an menyatakan bahwa, "Doa tidak membentuk kita melakukan perkara besar, doa itu sendiri adalah perkara besar." Yesus tahu hal ini dan menunjukkan kepada kita ketergantungan Dia sepenuhnya kepada doa dalam berbagai hal yang Ia lakukan selama melayani di bumi ini. Lukas 5:16 menyatakan kepada kita, "Akan tetapi Ia mengundurkan diri ke tempat-tempat yang sunyi dan berdoa." Lukas mencatat bahwa doa Yesus di Taman Getsemani menggambarkan kepada kita pentingnya doa dalam kehidupan Yesus. Dalam pasal itu kita mendapati Yesus tidak hanya berlutut sebelum menghadapi pengkhianatan dan penyaliban, namun Dia juga meminta Petrus, Yakobus dan Yohanes untuk berdoa sehingga mereka tidak jatuh ke dalam pencobaan. Yesus tahu betapa pentingnya doa dalam kehidupan anak-anak Tuhan.
Keep on fire : Doa membawa kehendak kita untuk menyesuaikan dengan kehendak Bapa di Sorga. Ketika kita berdoa kita meninggikan YESUS KRISTUS dan mencari kehendak Bapa, hal itu menjadi sebuah dupa yang harum yang naik ke hadapan Allah.
Mari...jangan jemu-jemu berdoa, undanglah Kerajaan Allah datang dan ijinkan kehendak-Nya jadi dalam hidup Anda dan saya.
Tuhan Yesus Memberkati!

Tuesday, October 10, 2017

Fungsi Suami dalam Keluarga

1.      Otoritas Suami
Pernikahan merupakan langkah awal untuk membentuk keluarga. Di dalamnya, masing-masing pihak—laki-laki dan perempuan— mempunyai suatu kedudukan dan peran yang harus dijalankan agar dari pernikahan tersebut dapat terbentuk keluarga yang membawa kemuliaan dan hormat bagi Tuhan.

Pada dasarnya, keluarga merupakan salah satu lembaga yang Tuhan bentuk bagi manusia (Kej 2:24,25). Selain itu Tuhan juga yang membentuk lembaga pemerintahan dan jemaat. Sebagai sebuah lembaga, maka Tuhan juga menentukan berbagai hal yang berhubungan dengan keluarga ini. Salah satu hal yang dibahas dalam bab ini adalah tentang otoritas.

Untuk mengetahui bagaimana pengaturan Tuhan mengenai otoritas ini, maka saya mengajak anda untuk melihat kembali ke dalam Alkitab dengan membaca salah satu bagiannya dari 1 Korintus 11:3 yang tertulis demikian : “ Tetapi aku mau, supaya kamu mengetahui hal ini, yaitu Kepala dari tiap-tiap laki-laki ialah Kristus, kepala dari perempuan ialah laki-laki dan Kepala dari Kristus ialah Bapa.”

Dari ayat ini kita mengetahui bahwa Tuhan mengatur jalur otoritas yang berlaku dalam keluarga. Tuhan yang merencanakan ini semua agar keluarga dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Tuhan ingin agar dalam keluarga, suami dan istri mempunyai peran dan tanggung jawab yang jelas sehingga lembaga keluarga ini dapat memenuhi kehendak Bapa bagi keluarga.

Untuk memahami apa yang dimaksud dengan otoritas maka kita perlu mengetahui apa arti kata tersebut. Kata otoritas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mempunyai pengertian sebagai berikut :
-          Kekuasaan yang sah yang diberikan kepada lembaga dalam masyarakat yang memungkinkan para pejabatnya menjalankan fungsinya.
-          Hak melakukan tindakan atau hak membuat peraturan untuk memerintah orang lain.
Tampak jelas dari pengertian di atas bahwa otoritas merupakan suatu wewenang sah yang dimiliki oleh pemegang otoritas untuk melakukan tindakan atau melaksanakan peraturan agar suatu lembaga dapat berfungsi sebagaimana mestinya dalam masyarakat.

Demikian pula dalam lembaga keluarga. Tuhan menetapkan susunan otoritas-Nya dalam 1 Korintus 11:3 sebagai berikut :

Bapa adalah kepala dari Kristus.
Sumber otoritas jelas ada pada Tuhan. Dialah yang merencanakan dan mengatur segala sesuatu, termasuk lembaga keluarga. Pengaturan yang diberikan-Nya sempurna dan harus kita laksanakan dalam kehidupan berkeluarga.

Posisi Bapa sebagai kepala dari Kristus tidak menjadikan Kristus lebih rendah atau lebih hina dari Bapa. Apalagi, dalam Kerajaan Tuhan, kepemimpinan tidak pernah mengandung arti menjadi "yang lebih besar". Posisi Kristus itu menunjukkan teladan dari sikap seorang hamba yang mau taat sepenuhnya pada kehendak Bapa. (Mat 20:25-28; Flp 2:5-9). (Barnest, 2003)

Kristus adalah kepala dari tiap laki-laki. Kritus mendapat wewenang dari Tuhan untuk menjadi kepala dari tiap laki-laki, termasuk suami, bahkan kepala semua pemerintah dan penguasa. (Kol 2:10). Hal ini berarti bahwa Kristus adalah Penguasa, Pengarah atau Tuhan dari setiap orang Kristen. Mereka harus mengakui-Nya dan tunduk dalam segala hal pada cara pengaturan-Nya.

Laki-laki adalah kepala dari perempuan. Laki-laki mendapat wewenang dari Kristus untuk menjadi kepala dari perempuan. Dalam konteks pernikahan, pada saat laki-laki dan pe-rempuan memasuki jenjang pernikahan maka posisi suami melekat dengan sendirinya pada laki-laki dan posisi istri juga melekat pada pe-rempuan. Sebagai kepala, suami mempunyai otoritas atas istrinya, dan istri wajib mengakui dan menghormati otoritas suaminya ini.

Posisi suami ini diperoleh bukan karena laki-laki berpenampilan menarik secara fisik, pandai mencari uang atau pintar secara akademis, tetapi memang karena TUHAN saja yang berkehendak menempatkan laki-laki pada posisi ini. Tidak ada alasan lain. Karenanya, ketundukan istri kepada otoritas suami merupakan wujud ketundukannya kepada otoritas Tuhan. Larry Christenson dalam bukunya “Keluarga Kristen” menggambarkan susunan otoritas dalam 1 Korintus 11:3 sebagai “Peraturan Ilahi” yang mengatur tentang wewenang dan tanggung jawab yang diuraikan dalam Alkitab :
·         Sang suami hidup di bawah wewenang Kristus dan bertanggung jawab kepada-Nya dalam hal memimpin dan memelihara keluarganya itu.
·         Sang istri hidup di bawah wewenang suaminya, dan bertanggung jawab kepadanya sehubungan dengan caranya mengatur rumah tangga dan memelihara anak-anak mereka. Istri melaksanakan wewenangnya terhadap anak-anak atas nama dan sebagai pengganti suaminya.
·         Anak-anak hidup di bawah wewenang kedua orang tua mereka.
Selanjutnya dia mengingatkan kita bahwa setiap penyimpangan dari wewenang yang telah diatur oleh Tuhan itu hanya akan mengakibatkan perpecahan, dan satu-satunya cara untuk memperbaikinya adalah berbalik kepada peraturan dasar Ilahi.

2.      Kepala Keluarga
Dalam pernikahan Kristen, menjadi suami merupakan suatu kehormatan yang diberikan Tuhan bagi seorang laki-laki. Tuhan tidak memandang apakah laki-laki itu tampan atau tidak, rajin atau malas, sabar atau pemarah dsb. Ia tetap menempatkannya pada posisi sebagai suami sehingga posisi ini melekat dengan sendirinya pada saat memasuki jenjang pernikahan.

Tuhan mempunyai rencana bagi seorang suami. Tuhan ingin suami menjadi kepala keluarga, yang mempunyai otoritas atas istri dan anak-anak yang Dia percayakan pada mereka. Tuhan ingin ada suatu posisi yang jelas dan tegas bagi suami agar lembaga keluarga berjalan dengan tertib dan teratur dan pengaturan selanjutnya sudah diserahkan kepada Kristus. Jadi, suami mendapat wewenang dari Kristus untuk menjadi kepala keluarga.

Agar seorang suami dapat berfungsi sebagaimana mestinya sesuai dengan wewenang yang dimilikinya, maka ada karakteristik tertentu yang perlu dimilikinya. Saya ingin mengajak anda untuk membuka kembali alkitab dan membaca salah satu bagiannya yaitu dalam 1Tim 3:4,5 yang tertulis sebagai berikut : “ seorang kepala keluarga yang baik, disegani dan dihormati oleh anak-anaknya. Jikalau seseorang tidak tahu mengepalai keluarganya sendiri, bagaimana ia dapat mengurus jemaat TUHAN?” dan dalam 1Tim 5:8 yang tertulis sebagai berikut: “ Tetapi jika ada orang yang tidak memelihara sanak saudaranya, apalagi seisi rumahnya, orang itu murtad dan lebih buruk daripada orang yang tidak beriman”

Berdasarkan kedua bagian ini, ada empat karakteristik yang perlu diperhatikan oleh seorang kepala keluarga.

Seorang yang baik. Kata baik di sini lebih menekankan pada aspek moralitas. Seorang suami harus menjadi teladan, khususnya dalam kesetiaannya kepada istri dan keluarganya. Ia harus mau “pikul salib” dalam melaksanakan wewenang yang dimilikinya agar dapat menjadi kepala keluarga yang baik. Kehidupan dan imannya yang teguh dapat ditunjukkan di dalam keluarga sebagai sesuatu yang layak ditiru.

Seorang yang disegani dan dihormati oleh anak-anaknya. Dengan wewenang yang dimiliki dan teladan yang diperlihatkan seorang kepala keluarga, maka seluruh anggota keluarga akan memahami peran sang kepala keluarga dan mereka akan tunduk serta menaruh hormat padanya. Suatu situasi yang terjadi karena adanya kesadaran bahwa sang Kepala keluarga layak untuk mendapatkan hal itu. Ketundukan ini muncul sebagai wujud dari ketaatan kepada Firman Tuhan dan wujud rasa hormat terhadap Kristus yang telah menempatkan seorang kepala keluarga yang baik di antara mereka.

Seorang yang tahu mengepalai keluarganya. Tidak semua suami tahu bagaimana memimpin keluarganya. Tidak semua suami tahu bagaimana cara melaksanakan wewenang yang dimiliknya. Mendapat wewenang dari Kristus sebagai kepala keluarga tidak secara otomatis menjadikannya seorang kepala keluarga yang baik. Perlu ada pemahaman alkitabiah tentang posisinya ini.

Pada umumnya, suami berperan sebagai kepala keluarga secara diktator. Apa yang diputuskannya menjadi hukum dalam keluarganya. Semua anggota keluarganya harus taat pada hukum tersebut, terlepas dari setuju atau tidak. Perilaku yang ditampilkan dalam keluarga tidak begitu penting karena “Akulah raja dalam keluarga ini”. Hal ini terjadi karena orang tersebut menjadi kepala keluarga yang berpusat pada dirinya sendiri. Segala sesuatu harus sesuai dengan selera pribadinya. Tidak heran apabila sering terjadi tindakan kekerasan dalam rumah tangga yang demikian.

Dalam kekristenan, seorang kepala rumah tangga haruslah seorang yang sudah lahir baru. Artinya, dia seorang yang sudah bertobat dan menerima Tuhan Yesus sebagai Juruselamat pribadi dan Tuhan dalam kehidupannya. Tanpa diawali dengan kelahiran baru, mustahil dapat menjadi kepala keluarga yang sesuai dengan kehendak Allah. Mengapa demikian? Karena dengan lahir baru, seseorang menjadi ciptaan baru dalam Kristus (2Kor 5:17). Konsekuensinya, orientasi kehidupannya berubah, dari orientasi pada diri sendiri menjadi orientasi pada Tuhan Yesus (2Kor 5:15). Perjalanan kehidupannya hanya diarahkan agar sesuai dengan kehidupan Kristus (1Yoh 2:6).

Karena itu, seorang kepala keluarga yang sudah lahir baru tahu dan sadar bahwa posisi dan wewenang yang dimiliknya saat ini bukan berasal dari dirinya sendiri, tetapi berasal dari Kristus. Bukan karena kekuatan fisik atau kepandaiannya, tetapi merupakan kepercayaan dari Tuhan Yesus kepada dirinya. Kepercayaan yang harus dia jaga dengan segenap hati melalui ketaatan dalam kehidupannya.

Kehendak Tuhan bagi seorang kepala keluarga adalah bukan menjadi diktator tetapi menjadi pemimpin yang memberikan teladan dalam keluarganya. Teladan dalam perkataan, tingkah laku, kasih, kesetiaan dan kemurnian hidup. (1Tim 4:12). Yesus berkata kepada para murid-Nya, “sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu.” (Yoh 13:15). Yesus merupakan teladan yang sempurna bagi seorang pemimpin sehingga kita wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup (1Yoh 2:6).

Seorang yang memelihara seisi rumahnya. Aspek lain dari seorang kepala keluarga yang bertanggung jawab adalah mau memelihara seluruh anggota keluarganya. Mereka adalah orang-orang yang dipercayakan Tuhan berada di bawah kepemimpinan nya. Karena itu, meskipun seseorang harus bersusah payah dan berpeluh mencari nafkah seumur hidupnya (Kej 3:17-19), tugas ini merupakan tanggung-jawabnya dan tidak bisa dialihkan kepada orang lain. Memiliki wewenang dalam keluarga berarti ada tanggung jawab yang harus dilakukan demi keluarga yang dipimpinnya.

Memang ada kecenderungan saat ini bahwa istri ikut ambil bagian dalam mencukupi kebutuhan keluarga. Namun, hal ini tetap saja tidak menghilangkan kewajiban kepala keluarga untuk memelihara keluarganya. Kecenderungan ini justru harus disikapi dengan cermat karena beban istri menjadi lebih berat. Tugas istri pun sebagai pengelola rumah tangga tidak hilang dengan keikutsertaan dia mencari nafkah, justru tugasnya jadi bertambah. Apakah hal ini tidak mengganggu peran dan fungsi masing-masing dalam keluarga ? Memelihara keluarga tidak hanya berarti memenuhi kebutuhan fisik saja, tetapi juga kebutuhan rohani tiap anggotanya, dan ini bisa terlaksana apabila tersedia waktu dan perhatian yang memadai bagi anggota keluarganya.

Menjalani kehidupan sederhana bukanlah suatu hal yang tercela dihadapan Tuhan. Justru Firman Tuhan memperingatkan kita akan bahaya mencari uang secara berlebihan karena ingin kaya atau cinta uang (1Tim 6:9,10). Ketaatan akan tugas dan tanggung jawab sebagai kepala keluarga haruslah menjadi perhatian utama. Alkitab berkata “ … jika ada orang yang tidak memelihara sanak saudaranya, apalagi seisi rumahnya, orang itu murtad dan lebih buruk daripada orang yang tidak beriman.” (1Tim 5:8). Suatu hal yang tercela dihadapan Allah.

Terdapat konsekuensi logis apabila seseorang menerima wewenang dari atasannya : dia harus tunduk dan mempertanggung-jawabkan penggunaan wewenang itu kepada atasannya. Hal yang sama berlaku juga bagi seorang kepala keluarga. Dia harus :
                                                 
Tunduk kepada kehendak Kristus. Sudah sewajarnya kepala keluarga tunduk kepada Kristus melalui ketaatan dalam hidupnya karena Kristus merupakan kepala suami. (1Kor 11:3). Dialah yang mengatur segala sesuatu agar tiap anggota keluarga berfungsi sebagaimana mestinya dan hal ini diwujudkan dengan pemberian wewenang kepada suami untuk berperan sebagai kepala keluarga. Ketundukkan suami kepada Kristus haruslah berlandaskan kasih kepada-Nya. Dalam Alkitab tertulis bahwa "Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti perintah-perintah-Ku.”(Yoh 14:15). Inilah satu-satunya dasar yang benar untuk taat kepada Kristus, yaitu karena suami mengasihi Tuhan Yesus.

Bertanggung-jawab atas kepemimpinannya dalam keluarga. Alkitab mengingatkan bahwa kita akan memberi pertanggungjawaban tentang diri kita sendiri kepada Allah (Rom 14:12). Seorang kepala keluarga pada akhirnya harus mempertanggung-jawabkan wewenang yang dimilikinya dihadapan Kristus. Apakah dilaksanakan dengan baik atau tidak, semuanya akan terbuka dihadapan Kristus. Hal ini diharapkan dapat mengingatkan kembali para suami agar lebih bersungguh-sungguh lagi berfungsi sebagai kepala keluarga. Maju mundurnya sebuah keluarga bergantung pada kepemimpinan suami. Dia tidak bisa melemparkan tanggung jawab ini kepada istrinya dengan dalih bahwa istrinya lebih dominan dalam keluarga atau lebih mampu memimpin keluarga. Kepemimpinan keluarga tetap berada pada suami karena memang demikianlah kehendak Tuhan.

Keluarga adalah milik TUHAN. Ia menciptakannya. Ia menentukan susunan intinya. Ia pula yang menentukan maksud dan tujuannya. Tugas kita adalah memimpin keluarga agar dapat membawa kemuliaan dan hormat bagi Allah. (Christenson, 1994:8).

3.      Suami Terhadap Istri
Bagi seorang laki-laki, bertugas sebagai kepala keluarga merupakan suatu amanat dari Tuhan yang harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Ini merupakan kepercayaan besar yang menuntut pertanggungjawaban kelak dihadapan-Nya.

Seorang kepala keluarga mempunyai peran ganda : sebagai suami bagi istrinya dan sebagai ayah bagi anak-anaknya. Kedua peran tersebut menuntut pengetahuan dan pemahaman tersendiri. Namun, dalam bab ini pembahasan akan difokuskan hanya pada peran sebagai suami bagi istrinya. Peran ayah terhadap anak akan dibahas ringkas dalam point 4.

Untuk mengawali pembahasan, saya ingin kembali mengajak anda untuk membuka Alkitab dan memusatkan perhatian pada Ef 5:25-33, Kol 3:19, 1Tim 5:8, 1Pet 3:7 karena uraian di bawah ini akan bersumber dari ayat-ayat tersebut.

Berdasarkan bagian Alkitab di atas, paling tidak ada lima hal yang perlu dilakukan oleh seorang kepala keluarga yang berperan sebagai suami :

Mengasihi istri. Tugas utama seorang suami dalam pernikahan Kristen adalah mengasihi istrinya. Firman Tuhan dengan jelas menyatakan dalam Ef 5:25 : “ Hai suami, kasihilah istrimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya.” Ini merupakan perintah, bukan pilihan antara suka dan tidak suka, tetapi sesuatu yang harus dilaksanakan.

Suami perlu memahami makna kata “kasih (agape)” dalam ayat ini. Mengapa demikian ? Karena pemahaman yang dimiliki selama ini sering berbeda dengan makna Alkitab. Kasih sering dikaitkan dengan pemenuhan selera pribadi : “Saya mengasihi istri bila dia selalu memenuhi apa yang saya inginkan.” atau “Saya mengasihi istri bila ...” atau “saya mengasihi istri selama dia ....” Ini jelas bukan pemahaman alkitabiah, tapi pemahaman kedagingan yang harus segera ditinggalkan bila ingin menjadi suami yang berkenan kepada-Nya.

Makna Alkitabiah dari kasih berkaitan erat dengan pengorbanan diri atau “pikul salib”. Bila dikatakan “saya mengasihi istri”, maka hal itu berarti “saya siap berkorban demi istri” atau “saya rela ’pikul salib’ bagi istri”. Hal ini sudah dicontohkan oleh Tuhan Yesus dengan “menyerahkan diri-Nya” bagi jemaat (Ef 5:25). Suatu teladan yang sempurna.

Mengasihi istri berlangsung seumur hidup. Kasih ini tidak bergantung pada kondisi fisik atau keadaan sang istri. Ketika istri masih muda dan tampak menarik atau sudah tua dan berkurang daya tariknya, kasih suami tetap tidak berkurang. Ketika istri menjadi sedemikian cerewet dan menyebalkan, kasih suami memberikan ketenangan pada sang istri. Ketika istri membutuhkan dukungan moril, kasih suami memberikan peng hiburan dan kesegaran pada dirinya. Suatu kasih yang terus memberi, rela berkorban, tanpa syarat, dan tanpa mengharapkan imbalan. Suatu kasih yang senantiasa memikirkan kebahagian sang istri.

Mungkin ada suami yang tidak sependapat dengan pemahaman di atas dan berkata “Itu ‘kan idealnya. Mana mungkin bisa dilakukan? Memang ada suami yang mau demikian? Kalau cuma ngomong aja sih gampang. Lihat faktanya! Banyak istri yang menyebalkan dan menyusahkan suami, sukar diatur dan bikin pusing suami, dsb. Apa yang begini masih perlu dikasihi?” Wah … jangan emosi dulu. Sabar … sabar … sabar.

Perkataan yang demikian memang sering terdengar di sekitar kita. Namun, saya ingin mengajak para suami untuk kembali merenungkan secara cermat makna kasih menurut alkitab. Yesus merupakan teladan kasih. Dia rela mati bagi kita pada saat kita … sudah jadi baik? … sudah taat perintah Tuhan? … atau peduli pada Allah? TIDAK ! Manusia tidak pernah peduli pada Tuhan, hanya peduli pada dirinya sendiri saja. Tetapi, Dia rela mati bagi kita pada saat kita masih senang berbuat dosa, masih menjadi seteru Tuhan (Rom 5:8). Tidakkah hal ini menyentuh hati anda untuk berbuat hal yang sama pada istri anda, apapun keadaannya ?

Lalu, apakah kasih seperti itu bisa saya lakukan? BISA ! Tidak pernah Tuhan Yesus memberi perintah yang tidak bisa kita lakukan. Dia berkata “Pikullah kuk yang kupasang … Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan." (Mat 11:29,30). Dia menjamin bahwa perintah-Nya bisa dilaksanakan dalam kehidupan anda. Satu-satunya alasan agar anda bisa mengasihi istri anda apa adanya adalah karena “saya mau taat pada Firman Tuhan.” Hanya itu saja, tidak ada alasan lain !!

Menghormati istri. Mari kita buka kembali Alkitab dan memusatkan perhatian pada 1 Petrus 3:7 sebagai berikut : “Demikian juga kamu, hai suami-suami, hiduplah bijaksana dengan istrimu, sebagai kaum yang lebih lemah! Hormatilah mereka sebagai teman pewaris dari anugerah, yaitu kehidupan, supaya doamu jangan terhalang.”

Berdasarkan ayat di atas, Alkitab menyatakan bahwa suami harus hidup bijaksana dengan istrinya. Artinya, suami harus bersikap penuh pengertian - dengan budi pekerti yang baik - terhadap istrinya dan menyadari sepenuhnya bahwa dia merupakan kaum yang lebih lemah” yang memerlukan bimbingan dan perlindungan dari seorang suami.

Selanjutnya, hidup bijaksana dengan sang istri dapat diwujudkan dengan sikap menghormatinya. Menghormati istri berarti menghargai keberadaannya selayaknya, sebagai orang istimewa yang ditempatkan Allah menjadi penolong bagi suami (Kej 2:18). Mengapa harus demikian? Karena Firman Tuhan menyatakan bahwa istri merupakan “teman pewaris dari anugerah, yaitu kehidupan”.

Dalam kehidupan keseharian, kita melihat fakta bahwa ada suami yang merendahkan, mengejek, dan berbicara kasar kepada istri, bahkan dihadapan orang banyak. Memang memprihatinkan. Dia tidak me-nyadari betapa istimewanya istri di hadapan Tuhan. Bila ada kekurangan pada sang istri, maka kewajiban suami untuk membimbing dia dengan baik, bukan mengejek atau menghinanya. Para suami seharusnya tidak melakukan perbuatan tercela tersebut kepada istrinya.

Alkitab dengan tegas memperingatkan suami bahwa bila dia gagal untuk hidup bijaksana dengan menghormati dan memberikan perhatian terhadap istrinya, jangan harap doanya dijawab Tuhan. Dalam pandangan Tuhan, istri merupakan “teman pewaris” yang harus diperhatikan dengan selayaknya oleh suami supaya “doamu jangan terhalang.”

Membina kerohanian istri. Pernahkah para suami berpikir bahwa mereka adalah imam dalam keluarganya. Bukan pendeta tetapi anda sendiri ! Kalau belum perhatikan Firman Tuhan berikut ini : “ Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat Tuhan sendiri.” Di dalam Kristus, setiap orang percaya secara pribadi dapat mendekati dan menjumpai Tuhan. Penerapannya dalam keluarga adalah suami dapat bertindak sebagai imam bagi istri dan anak-anaknya.

Perhatian utama seorang suami dalam hal ini adalah pertumbuhan kerohanian istrinya. Dia merupakan orang yang dipercayakan Tuhan untuk dibina oleh suaminya. Tanggung jawab ini tidak bisa dialihkan pada seorang pendeta atau orang lain, tetapi benar-benar merupakan tugas mulia yang disediakan Tuhan bagi seorang suami.

Saya mendengar beberapa orang suami berpendapat lain. Mereka berpikir bahwa mereka sudah membawa istri dan anak-anaknya ke gereja setiap hari Minggu, bahkan ibadah lainnya pada pertengahan minggu, dan hal itu dirasa lebih dari cukup. Mengapa harus ditambah lagi dengan tugas pembinaan kerohanian lainnya dalam keluarga? Bukankah hal itu menambah repot tugas sang suami?

Memang benar bahwa tugas suami untuk mencari nafkah bagi keluarga dapat menghabiskan waktu setengah dari hidupnya setiap hari, sehingga pulang ke rumah dalam keadaan yang sudah lelah. Memang benar bahwa membawa seluruh anggota keluarga secara rutin ke gereja merupakan suatu bentuk ketaatan kepada kehendak Tuhan (Ibr 10:25). Karena itu, para suami sering menganggap semua itu sudah mencukupi dan akhirnya melalaikan fungsinya sebagai imam dalam keluarga.

Namun jangan lupa bahwa keluarga merupakan lembaga yang Tuhan bentuk dan diatur sedemikian rupa sehingga rencana Allah dapat terlaksana dan mendatangkan kebaikan bagi seluruh anggotanya (Roma 8: 28). Pengaturan yang Allah berikan tidak dimaksudkan untuk merepotkan sang suami, tetapi justru menolongnya untuk berfungsi sebagaimana mestinya sebagai kepala keluarga.

Sudahkah anda membaca Alkitab setiap hari bersama keluarga? Sudahkah anda berdoa secara teratur bagi dan bersama keluarga? Ada banyak buku renungan yang dapat menolong anda melakukan hal ini, bila perlu. Apakah terlalu berat dan merepotkan anda sebagai kepala keluarga? Seharusnya tidak. Saat itu justru seharusnya merupakan waktu yang menyenangkan untuk berjumpa dengan Tuhan Yesus. Meskipun dilakukan dalam waktu yang tidak lama setiap hari, namun hal ini dapat memupuk dan membina kerohanian istri anda.

Memelihara dan memenuhi kebutuhan istri. Suami mempunyai tanggung jawab untuk memelihara kehidupan istrinya seperti yang tercantum dalam Ef 5:28,29 : “Demikian juga suami harus mengasihi istrinya sama seperti tubuhnya sendiri: Siapa yang mengasihi istrinya mengasihi dirinya sendiri. Sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri, tetapi memelihara dan merawatnya, sama seperti Kristus terhadap jemaat.” Ditegaskan pula bahwa perhatian suami pada pemeliharaan tersebut sama seperti dia memberikan perhatian kepada tubuhnya sendiri.

Hal ini dengan jelas ditunjukkan oleh Kristus, sebagai Kepala jemaat, yang memelihara dan merawat jemaat-Nya dengan penuh kasih hingga Ia rela “menyerahkan diri-Nya baginya”(Ef 5:25).

Hal yang sama berlaku pula bagi para suami : memelihara dan merawat istrinya dengan penuh kasih. Alkitab menegaskan kembali bahwa “... Kasihilah istrimu seperti dirimu sendiri ...”(Ef 5:33). Kasih Tuhan sajalah yang memungkinkan suami melakukan hal ini dengan sikap rela berkorban demi kebahagiaan istrinya. Manakala istri membutuhkan sesuatu, suami dengan penuh kesungguhan berusaha memenuhi sesuai dengan kemampuannya. Bahkan manakala istri sudah mulai sakit-sakitan, perhatian dan pemeliharaan suami tidak pernah berkurang.

Kegagalan suami untuk rela berkorban dalam memelihara kehidupan istri atau lari dari tanggung jawabnya merupakan suatu perbuatan yang tercela dihadapan Tuhan. Alkitab dengan tegas dan jelas menyatakan bahwa “ Tetapi jika ada orang yang tidak memelihara sanak saudaranya, apalagi seisi rumahnya, orang itu murtad dan lebih buruk daripada orang yang tidak beriman.” (1Tim 5:8). Janganlah menjadi orang yang demikian karena tidak mendatangkan ucapan syukur dan kemuliaan bagi Tuhan Yesus !

Bekerjasama sebagai satu tim. Seorang kepala keluarga tidak dapat bekerja dengan baik bila ia seorang diri, tanpa kehadiran seorang penolong di sisinya, sebab kemampuan dan kekuatan yang dimilikinya terbatas. Karena itu Tuhan berkata "Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia." (Kej 2: 18) dan Allah menempatkan istri menjadi seorang penolong yang dimaksud oleh-Nya.

Bersama dengan istrinya, kepala keluarga melaksanakan fungsinya dalam keluarga sebagai sebuah tim yang terpadu, saling melengkapi satu sama lain. Mereka bekerja sama dalam membuat perencanaan dan pengelolaan rumah tangga dan memelihara serta mendidik anak-anak yang dipercayakan Tuhan pada mereka. Maju mundurnya suatu keluarga bergantung pada efektifitas dan kesungguhan kerja tim ini.

Dalam suatu kesempatan, Yesus berkata bahwa “Setiap ... rumah tangga yang terpecah-pecah tidak dapat bertahan.” (Mat 12:25). Jelas bahwa suami sebagai kepala rumah tangga mempunyai tanggung jawab untuk mempertahankan keutuhan keluarganya. Karena itu pendelegasian wewenang yang dimilikinya menjadi suatu keharusan. Apakah suami dapat mengurus anak-anak dengan baik sementara ia harus bekerja di luar rumah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya? Tentu saja tidak. Ia perlu mendelegasikan wewenang kepada istrinya. Pendelegasian ini memungkinkan kerja tim menjadi lebih baik, karena pengaturan dan pengambilan keputusan dalam rumah tangga pada situasi mendesak dapat dilakukan istri, meskipun nantinya ia harus memberikan laporan pada suaminya. Namun perlu diingat bahwa tanggung jawab utama tetap ada pada tangan suami sebagai kepala istri.

4.      Ayah Terhadap Anak
Tugas lain yang perlu diperhatikan sebagai seorang kepala keluarga adalah peran sebagai ayah terhadap anak-anaknya. Peran ini pun tidak secara otomatis bisa dilakukan dengan baik dan benar bila tidak dilandasi dengan pemahaman Firman Tuhan yang baik dan benar pula. Oleh karena itu, uraian di bawah ini berpusat pada Firman Tuhan agar dapat menolong para kepala keluarga dalam menjalankan fungsinya sebagai ayah.
Mengasihi anak. Tuhan Yesus sangat mengasihi anak-anak. Ia membuka diri terhadap kehadiran anak-anak dan memberkati mereka. Bahkan siapa saja yang menyambut kehadiran seorang anak sama artinya dengan me-nyambut kehadiran-Nya (Mat 18:5). Sedemikian berharganya anak bagi Yesus, maka Dia memperingatkan kita agar tidak memandang rendah anak-anak (Mat 18:10).

Hal yang sama perlu dilakukan oleh seorang ayah terhadap anak-anak yang dipercayakan Tuhan hadir dalam keluarganya. Paul D. Meier, M.D. dalam bukunya “ Membesarkan Anak Dan Pengembangan Watak Secara Kristen ” menyatakan bahwa orang tua juga harus menganggap anak-anak mereka sebagai suatu pribadi yang bernilai. Pribadi yang memerlukan kasih sejati, perhatian dan dorongan dari mereka dan hal ini dapat ditunjukkan terlebih dahulu dengan sikap
saling mengasihi antara suami dan istri.

Mengasihi anak berarti rela berkorban bagi kebahagiaan anak. Hal ini tidak berarti bahwa segala keinginan anak harus dipenuhi. Adakalanya pukulan harus diberikan bila perlu. Semuanya itu harus dalam konteks kasih. Kegagalan seorang ayah dalam mengasihi anak-anaknya secara baik dan benar akan mengakibatkan anak-anak menjadi bebal dan Ams 17:25 menegaskan bahwa “Anak yang bebal menyakiti hati ayahnya, dan memedihkan hati ibunya.” Sebaliknya, kasih yang diberikan secara tepat akan membuat “Ayah seorang yang benar akan bersorak-sorak; yang memperanakkan orang-orang yang bijak akan bersukacita karena dia.” (Ams 23:24)

Mendidik anak. Banyak para ahli berpendapat bahwa masa usia enam tahun pertama merupakan masa pembentukan kepribadian seseorang. (Meier, n.d.: 33). Masa ini merupakan masa “emas” bagi seorang ayah untuk mendidik anak agar terbentuk kepribadian yang sesuai dengan Firman Tuhan. Karena itu sangat penting bagi seorang ayah untuk mulai mendidik anak sejak dini agar masa “emas” tersebut dapat dilalui dengan baik.

Ada dua hal yang perlu diperhatikan oleh seorang ayah dalam mendidik anak-anaknya :

Mendidik dalam pengajaran & nasehat Firman Tuhan. Alkitab menegaskan bahwa seorang ayah “ … janganlah bangkitkan kemarahan di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan. (Ef 6:4). Ini memberi petunjuk bahwa dalam mendidik anak, ada hal-hal yang harus diperhatikan :
Didikan yang diberikan jangan sampai membangkitkan amarah dalam diri anak. Artinya jangan terus-menerus menggusari dan mencari-cari kesalahan anak-anak, sehingga membuat mereka marah dan jengkel. Memang selama proses pendidikan dalam keluarga, anak dapat saja berbuat salah. Mungkin karena aturan tidak jelas, perintah tidak dipahami atau memang anak tersebut bandel. Namun sepanjang hal itu masih dapat ditolelir, pemberian nasehat dan penjelasan yang mudah dipahami anak akan lebih bermanfaat daripada hukuman fisik secara langsung. Terlebih lagi mengungkit-ungkit kesalahan anak yang sudah lalu akan melukai perasaan anak dan menimbulkan perasaan bersalah berkepanjangan, rendah diri dan dendam.
Didikan yang diberikan harus bepusat pada ajaran dan nasihat Tuhan. Pengetahuan pertama yang harus diberikan pada anak adalah pengertian tentang takut akan TUHAN dan pengenalan akan Tuhan. (Ams 2:5). Seorang ayah (didukung oleh istrinya) bertanggung jawab untuk memberi didikan alkitabiah dan rohani kepada anak-anak dalam keluarga. Hal ini bukan tugas gereja atau sekolah Minggu. Gereja dan sekolah Minggu hanya membantu didikan dari orang-tua.
Mendidik dengan cara yg sesuai. Ajarlah seorang anak cara hidup yang patut baginya, maka sampai masa tuanya ia akan hidup demikian. (Ams 22:6, BIS). Ayat ini mengingatkan kita bahwa dalam mendidik anak perlu dipikirkan cara yang sesuai untuk tiap tingkatan umur anak. Cara mendidik anak usia 3 tahun akan berbeda dengan usia anak 6 tahun, 12 tahun dst. Tiap-tiap masa perkembangan anak memerlukan cara yang berbeda. Namun semuanya itu harus berpusat pada satu hal yaitu melatih anak cara hidup yang patut baginya. Artinya, melatih anak untuk memilih jalan yang benar sesuai dengan Firman Tuhan.
Paul D. Meier menyatakan bahwa sekitar 85% kepribadian seorang dewasa telah terbentuk pada saat usia 6 tahun. Setelah usia 6 tahun tersebut, maka yang dapat dilakukan adalah memoles sisa yang 15% itu guna membentuk anak menjadi remaja Kristen yang ideal. (Meier, n.d : 95).
Tampak bahwa 6 tahun pertama kehidupan anak merupakan masa “emas” untuk menanamkan nilai-nilai kebenaran Alkitabiah pada diri seorang anak. Masa ini juga akan menjadi masa “kritis” bila seorang ayah gagal memanfaatkan waktu yang berharga ini. Mengapa ? Karena “... sampai masa tuanya ia akan hidup demikian.”

Mendisiplin anak-anak. “Di manakah terdapat anak yang tidak dihajar oleh ayahnya?” (Ibr 12:7). Ini merupakan pertanyaan yang ditujukan bagi setiap ayah yang sedang mendidik anak-anaknya. Hajaran (chasten = disiplin) merupakan otoritas yang dimiliki seorang ayah untuk mendisiplin anak. Ketika anak harus didisiplin, seorang ayah harus tanpa ragu menggunakan otoritas ini. Kegagalan sang ayah menerapkan disiplin pada anak akan mengakibatkan anak menjadi bebal dan akan “ menyakiti hati ayahnya, dan memedihkan hati ibunya.” (Ams 17:25).
“Selanjutnya: Dari ayah kita yang sebenarnya kita beroleh ganjaran, dan mereka kita hormati ;” (Ibr 12:9). Disiplin pertama yang harus diperoleh anak-anak adalah di dalam keluarganya, dari sang ayah. Jangan takut untuk melaksanakan disiplin. Jangan berpikir bahwa anak-anak akan membenci anda bila mereka didisiplin. Alkitab menegaskan bahwa bila disiplin dilaksanakan dengan baik dan benar maka anak-anak akan menghormati ayah mereka. Peringatan Alkitab berikut ini perlu diperhatikan : “Siapa tidak menggunakan tongkat, benci kepada anaknya; tetapi siapa mengasihi anaknya, menghajar dia pada waktunya. (Ams 13:24). Dengan disiplin maka diharapkan anak-anak akan hidup dalam ketaatan dan kekudusan.
Dalam melakukan disiplin pada anak-anak harus diperhatikan dua hal berikut ini :

Jangan bangkitkan amarah. “Jangan terus-menerus menggusari dan mencari-cari kesalahan anak-anak Saudara, sehingga membuat mereka marah dan jengkel.” (Efesus 6:4). Ini merupakan nasihat yang berharga bagi seorang ayah dalam mendisiplin anaknya. Anak harus mendapat penjelasan yang bisa dia mengerti mengapa ayahnya marah, mengapa dia tidak boleh bermain, mengapa dia tidak boleh jajan, dsb. Penjelasan yang dilandasi kasih akan menentramkan hati anak yang mungkin juga ikut terbawa emosi, sehingga dia memahami maksud dari disiplin itu.

Jangan mengungkit-ungkit kesalahan yang sudah lalu. Anak biasanya lebih cepat melupakan hal-hal yang sudah berlalu karena dia lebih mudah memberikan pengampunan. Bila ayahnya mengungkit-ungkit lagi maka sama artinya mengorek luka yang sudah lama dan akan berakibat anak menjadi marah, jengkel dan timbul dendam Hindarilah hal yang demikian. Lebih baik “... didiklah mereka dengan tata tertib yang penuh kasih dan yang menyukakan hati Tuhan, dengan saran-saran dan nasihat-nasihat berdasarkan Firman Tuhan.” (Efesus 6:4).

Jangan sakiti hati anak. Penerapan disiplin tidak dimaksudkan untuk menyakiti hati anak. Memang pada saat diberikan, disiplin akan mendukakan hati anak (Ibr 12:11). Tetapi sesudah itu kita akan melihat hasilnya, yaitu pertumbuhan dalam hidup kerohanian anak. Disiplin itu menyebabkan anak hidup menurut kemauan Tuhan, dan menghasilkan perasaan sejahtera pada dirinya.

Nasihat dari Amsal berikut ini patut direnungkan seorang ayah :
“Didiklah anakmu, maka ia akan memberikan ketenteraman kepadamu, dan mendatangkan sukacita kepadamu.”(Ams 29:17).

5.      Kebutuhan Suami
Tak bisa dipungkiri bahwa, selain memiliki tugas dan tanggung jawab yang harus dilaksanakan, seorang suami juga memiliki berbagai kebutuhan pribadi yang perlu dipenuhi. Beberapa di antaranya akan dibahas dalam point ini.

Dihormati & Dihargai Sebagai suami, kebutuhan ini melekat dengan sendirinya. Ini bukanlah “rasa haus” akan hormat dan penghargaan dari seorang suami, tetapi karena memang Tuhan telah mengaturnya sedemikian rupa sehingga suami mendapat hak untuk dihormati dan dihargai. Bisa anda bayangkan bila seorang suami tidak dihargai dan dihormati oleh istrinya. Suami tidak akan dapat berfungsi sebagaimana mestinya
Sebagai kepala istri, dihormati berarti dijaga nama baik dan harga dirinya. Dengan segala keterbatasan dan kekurangan yang ada dalam diri suami, tidak mengurangi kebutuhan akan rasa hormat ini. Seorang istri yang dapat menjaga nama baik dan harga diri suaminya akan mendorong suami memimpin keluarga dengan lebih baik lagi.
Demikian pula dengan penghargaan dari istri kepada suami. Menghargai suami berarti memberikan perhatian dan memandang penting keberadaan suami. Kegagalan seorang istri untuk memberikan penghargaan yang layak pada suaminya sama artinya dengan pelecehan terhadap posisi suami sebagai kepala istri.
Amsal 12:4 mengingatkan kita bahwa “ Isteri yang cakap adalah mahkota suaminya, tetapi yang membuat malu adalah seperti penyakit yang membusukkan tulang suaminya.”

Semangat & Penghiburan Suami anda bukanlah seorang yang sempurna atau yang tidak pernah mengalami kegagalan. Ada saatnya dimana seorang suami mengalami patah semangat dalam menjalani kehidupan ini. Mungkin dikarenakan tekanan dalam pekerjaannya, di PHK, usaha bangkrut, ditipu orang lain, kenakalan anak-anak atau berbagai hal lainnya.

Inilah merupakan saat yang tepat bagi seorang istri untuk menunjukkan kualitasnya sebagai penolong yang sepadan bagi suaminya. Dia tidak lari dari tanggung jawabnya sebagai istri, tetapi siap memberikan semangat baru dan penghiburan bagi suaminya. Perkataannya “... seperti sarang madu, manis bagi hati dan obat bagi tulang-tulang.” (Ams 16:24) dan “Hati suaminya percaya kepadanya, suaminya tidak akan kekurangan keuntungan.” (Ams 31:11). Betapa beruntungnya suami yang mendapatkan istri seperti ini karena “ Ia lebih berharga dari pada permata.” (Ams 31:10)

Tahu bahwa dia andalan keluarga. Banyak suami yang tidak menyadari bahwa dia merupakan andalan bagi keluarganya. Diandalkan tidak hanya sebagai tulang punggung keluarga, tetapi juga secara khusus sebagai “seorang bapak” bagi istrinya. Seorang yang menjadi pengayom dan pelindung bagi keluarganya.
Praktek-praktek seperti “menyunat” gaji sebelum diberikan pada istri, lebih mementingkan kesenangan pribadi (mis : olah raga, memelihara burung, dsb.) atau lebih mengutamakan pekerjaan di atas segalanya, merupakan beberapa contoh yang menunjukkan bahwa kesadaran akan keberadaan suami sebagai andalan keluarga kurang mendapat perhatian sebagaimana mestinya.
Istri harus berperan aktif untuk memberikan masukan bagi suaminya. Pemusatan perhatian suami terhadap satu hal (mis. pekerjaan) dapat menyebabkan perhatiannya terhadap keluarga menjadi berkurang, meskipun pada akhirnya hasil yang diperoleh suami digunakan untuk kepentingan keluarga. Namun, peran suami tidak sebatas hanya sebagai tulang punggung keluarga, tetapi dia juga harus memberikan perhatian dan waktunya bagi keluarga, terutama istrinya.
Ketundukan istri kepada suaminya tidak menghilangkan kewajiban istri untuk “menjaga” suaminya. Tuhan menganugerahkan akal budi kepada seorang istri untuk melihat berbagai hal yang terjadi dalam keluarganya. Bila terjadi hal-hal yang dianggap merugikan keharmonisan atau keutuhan keluarga, maka istri harus cepat tanggap memberikan masukan kepada suaminya. Namun, Istri harus tetap mengandalkan suami dalam menentukan keputusan akhir. Bagi suami, “… istri yang berakal budi adalah karunia TUHAN.” (Ams 19:14).

6.      Kewajiban Bersama Suami-Istri
Keluarga merupakan lembaga yang Tuhan dirikan. Di dalamnya terdapat hak dan kewajiban yang dimiliki oleh suami istri. Semuanya itu diatur oleh Tuhan sedemikian rupa sehingga salah satu pihak tidak merasa lebih unggul dari pihak lainnya. Tuhan mengasihi anda dan pasangan anda. Tidak ada yang menjadi “anak emas”.
Karena itu, ada kewajiban bersama yang harus dilakukan oleh suami istri secara bersamaan agar keduanya menyadari bahwa mereka saling membutuhkan. Kekurangan pasangan kita diisi oleh kelebihan kita dan kekurangan kita diisi oleh kelebihan pasangan kita. Dengan demikian terjadi keseimbangan dalam menjalani kehidupan berkeluarga ini.
Kewajiban bersama yang dimaksud adalah sebagai berikut :

Saling mengasihi. Suami dan istri dipanggil untuk saling mengasihi. Ayat-ayat Alkitab berikut ini : “Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya.” (Ef 5:25). “Dan dengan demikian mendidik perempuan-perempuan muda mengasihi suami dan anak-anaknya...” (Tit 2:4), menyatakan tanggung jawab dari sikap saling ketaatan. Yaitu tiap pihak secara sukarela mengasihi dan mau taat terhadap yang lain. Ketaatan yang bersifat timbal balik ini memberikan kepada suatu keluarga dasar yang kuat.

Saling merendahkan diri. Saling merendahkan diri di dalam Kristus adalah suatu prinsip rohani yang umum. Alkitab menegaskan pada suami istri agar “ ... rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain di dalam takut akan Kristus.” (Ef 5 :21). Prinsip ini harus diterapkan pertama-tama dalam keluarga Kristen. Ketundukan, kerendahan hati, kelembutan, kesabaran, dan toleransi harus merupakan ciri khas dari setiap anggota keluarga Kristen. Istri harus tunduk (yaitu, tunduk di dalam kasih) kepada tanggung jawab suaminya selaku pemimpin dalam keluarga. Suami harus tunduk kepada kebutuhan istrinya dengan sikap kasih dan pengorbanan diri.
Jika setiap pasangan suami isteri Kristen memberlakukan prinsip ini dalam rumah tangganya, dapat dipastikan bahwa tidak ada suami yang menindas isteri dan tidak ada isteri yang tidak tunduk dan tidak hormat kepada suami, karena mereka saling memperlakukan dengan penuh kasih sayang dan hormat.

Saling memenuhi kewajiban. Dalam kekristenan, suami dan istri masing-masing mempunyai hak untuk mendapatkan kesetiaan yang penuh dari pasangannya. “Hendaklah kamu semua penuh hormat terhadap perkawinan dan janganlah kamu mencemarkan tempat tidur, sebab orang-orang sundal dan pezinah akan dihakimi TUHAN.” (Ibr 13:4) Beberapa kelompok masyarakat hanya mengharapkan kesetiaan pihak istri, namun standar Tuhan adalah kesetiaan oleh tiap pihak. Setiap pihak berkewajiban untuk memenuhi hak yang dimiliki pasangannya. Alkitab menegaskan hal ini dengan menyatakan bahwa “Hendaklah suami memenuhi kewajibannya terhadap istrinya, demikian pula istri terhadap suaminya.” (1Kor 7:3).

Saling mempercayai. Menurut KBBI, makna kata percaya berarti yakin benar atau memastikan akan kemampuan atau kelebihan seseorang atau sesuatu (dapat memenuhi harapan, jujur, bertanggung jawab, dsb.).
Dalam Ams 31:11 ditegaskan bahwa terhadap istri yang cakap “Hati suaminya percaya kepadanya, suaminya tidak akan kekurangan keuntungan.” Ini berarti bahwa sang suami yakin benar atas kemampuan istrinya dalam mengelola rumah tangga dan menjadi penolong yang sepadan baginya sehingga ia dapat menaruh kepercayaan kepadanya.
Demikian pula pada bagian lain dalam Alkitab, Efesus 5:22 “Hai istri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, “ dan ditegaskan lebih lanjut dalam Efesus 5:24, bahwa ketundukan tersebut mencakup “dalam segala sesuatu.” Hal ini menunjukkan bahwa ada suatu keyakinan pada sang istri akan kemampuan suaminya untuk memenuhi harapan, bersikap jujur dan bertanggung jawab terhadap keluarganya, khususnya sang istri.

7.      Kesimpulan
“ Jikalau bukan TUHAN yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya; “ (Mzm 127:1). Ayat ini mengingatkan kita bahwa keluarga adalah milik Tuhan. Ia menciptakannya. Ia menentukan susunan intinya. Ia menentukan maksud dan tujuannya. Rumah tangga yang kita bangun selama ini tetap menjadi hasil karya-Nya.
Karena itu pemahaman akan fungsi, tugas dan tanggung jawab, hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam keluarga perlu diselaraskan dengan Firman Tuhan. Tanpa itu, mustahil sebuah keluarga dapat berkenan di hadapan Tuhan, memuliakan nama-Nya dan mencapai tujuan Tuhan serta menjadi bagian dari tujuan itu. Perlu tekad yang sungguh-sungguh untuk melaksanakan kehendak-Nya dalam kehidupan keluarga kita.
Pemberian otoritas oleh Kristus pada suami untuk memimpin keluarga merupakan suatu kepercayaan yang perlu dipertanggung-jawabkan kelak dihadapan-Nya. Bukan untuk menjadi diktator , tetapi menjadi teladan yang utama bagi seluruh anggota keluarganya. Menjadi teladan dalam perkataan, dalam tingkah laku, dalam kasih, dalam kesetiaan dan dalam kemurnian. (1Tim 4:12).
Menjadi kepala keluarga mempunyai fungsi ganda : sebagai suami terhadap istrinya dan sebagai ayah terhadap anak-anaknya. Kedua fungsi ini memerlukan pemahaman tersendiri, bukan sesuatu yang dapat dilakukan sambil lalu. Di dalamnya terdapat tugas dan tanggung jawab yang telah Tuhan tetapkan. Kegagalan melakukan fungsi ini sesuai dengan tuntunan Firman Tuhan dapat berakibat hancurnya sebuah keluarga. Kepala keluargalah yang harus mempertanggung-jawabkan maju mundurnya sebuah keluarga yang dipimpinnya di hadapan Kristus kelak.
Jadilah anda suami yang bertanggung jawab, mengasihi Tuhan dan istri serta menjadi ayah yang baik bagi anak-anak yang Tuhan percayakan kepada anda. Ingatlah bahwa hidup anda sekarang di dalam Kristus adalah sebagai ciptaan baru yang tidak lagi hidup untuk diri anda sendiri, tetapi untuk Dia yang telah mati dan telah dibangkitkan untuk anda. Tuhan Yesus mengasihi keluarga Anda.
Tidak ada suami yang sempurna. Tidak ada kepala keluarga yang siap 100% untuk menjadi kepala keluarga yang sempurna. Berbagai keterbatasan dan kekurangan - baik secara fisik ,mental dan pikiran - yang ada dalam diri seorang suami membuatnya sadar bahwa dia memerlukan seorang penolong dan Allah telah merespon hal ini dengan memberinya seorang istri. Seseorang yang di mata Tuhan dapat menjadi penolong yang sepadan bagi suami.
Ketidaksempurnaan sebagai seorang suami tidak perlu membuatnya berputus asa, tetapi seharusnya mendorong dia untuk terus belajar memahami dan mempraktekkan kebenaran Firman Tuhan dalam kehidupannya. Perubahan demi perubahan akan dialami bila secara konsisten taat pada Firman Tuhan. Keadaan yang lebih baik sudah ada di depan mata selama suami mengandalkan Tuhan Yesus, bukan kemampuan dan kekuatan dirinya.
Berbagai kesalahan di masa lalu dalam memimpin keluarga ja-nganlah menjadi beban berat yang memperlambat langkah kaki anda dalam perjalanan menuju ke masa depan. “Tetapi kalau kita mengakui dosa-dosa kita kepada Tuhan, Ia akan menepati janji-Nya dan melakukan apa yang adil. Ia akan mengampuni dosa-dosa kita dan membersihkan kita dari segala perbuatan kita yang salah.” (1Yoh 1:9, BIS). Nasihat Paulus penting untuk kita perhatikan agar kita mendapat semangat baru menyongsong masa depan : “Aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku, dan berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan surgawi dari Bapa dalam Kristus Yesus.” (Flp 3:13,14).

Panggilan surgawi anda dalam pernikahan Kristen adalah menjadi seorang suami yang memenuhi kehendak Tuhan. Karena itu pembaharuan dan pemulihan dalam keluarga anda merupakan suatu kebutuhan yang mendesak, terutama dalam diri anda sebagai seorang kepala keluarga. Berlarilah kepada tujuan untuk memperoleh hadiah sorgawi yaitu sukacita dan berkat-berkat. “Bertumbuhlah bersama dalam kasih karunia”. Amin.

Peranan Istri Dalam Keluarga

Alkitab melukiskan peranan yang sangat luhur bagi para istri di tengah keluarganya. Lihat saja bagaimana Amsal 31:10-31 melukiskannya :
* Lebih berharga daripada permata (Ams 31:10)
* Dipercaya suaminya dan membuat suami dan seisi rumahnya 'beruntung' memiliki dia sebagai istri, ibu, nyonya rumah … (Ams 31:11, dst.)
* Anak dan suami menyebutnya perempuan berbahagia (Ams 31:28)
* Dipandang lebih istimewa dari perempuan lain oleh suami dan anak-anaknya (Ams 31:29)

Bayangkan istri yang dilukiskan kitab Amsal disebut sebagai wanita yang memiliki tempat khusus tak tergantikan di hati dan kehidupan suami dan anak-anaknya, bahkan seisi rumahnya. Kalau banyak wanita kuatir tempatnya di hati suami dan anak-anaknya tergeser oleh wanita lain … Wanita bijak malah diberikan tempat khusus yang tak boleh / ingin digantikan oleh wanita lain di hati dan hidup suami dan keluarganya. Luar biasa bukan? Penulis Amsal menyarankan supaya kepada wanita sedemikian 'diberikan bagian dari hasil tangannya - seakan memiliki hak untuk menikmati hasil jerih lelahnya, perlakuan yang sangat tidak lazim pada jaman itu … dan perbuatannya membuat dia dihormati, dipuji, dihargai … di pintu-pintu gerbang (31:31) - tempat yang biasanya hanya memberikan pengakuan pada para lelaki di jaman itu (31:23).

Kalau para wanita ingin muncul di tengah keluarga dan komunitasnya sebagai wanita yang demikian spesial, gambaran tentang Wanita Bijak yang cakap di Amsal 31:10-31 patut menjadi cermin / tolok ukur kualitas kespesialan dirinya. Saya meringkaskan kecakapan seorang Wanita Bijak dalam 5 area (5K) : KESADARAN, KEHADIRAN, KETRAMPILAN, KEROHANIAN DAN KETERBUKAAN.

1.      KESADARAN
Untuk sampai kepada level Wanita Bijak yang cakap, seorang istri perlu memiliki KESADARAN dalam hal :
DESIGN Allah bagi dirinya sebagai WANITA yang menikah adalah menjadi seorang PENOLONG … PENDAMPING (Kej. 2:18).
Meskipun ia dikaruniai kelebihan (yang memampukannya mengemban peran yang disiapkan Tuhan baginya), ia tidak bersaing / berjuang mendapatkan kedudukan untuk menjadi ' orang nomor satu ', melainkan puas dan dengan rendah hati memerankan diri sebagai 'orang nomor dua' yang menolong dan mendampingi pria (suami) agar menjadi pemimpin, kepala seperti yang Tuhan kehendaki. Ia dengan sadar menghargai peran yang disediakan Tuhan baginya, menjadi penolong yang dipercaya dan pendamping yang bisa diandalkan oleh pria dalam hidupnya (suami). Kalau ia merasa tak memiliki keistimewaan apa-apa, ia harus belajar mengimani bahwa Tuhan sesungguhnya sudah memperlengkapi dia dengan kasih karunia yang cukup untuk menjalankan perannya. Ia hanya perlu rendah hati, rajin dan tekun menggali dan mengembangkannya.

KUASA yang dilekatkan Tuhan dalam dirinya. Amsal menyebutnya 'kuasa' PENGARUH (Ams 14:1).

Walaupun ia tak diberikan peran sebagai kepala / pemimpin, namun Tuhan mempercayakan kepada wanita semacam pengaruh yang lain yang tak kalah dahsyatnya, yaitu kekuatan mempengaruhi. Dengan kekuatan ini seorang wanita bisa MEMBANGUN atau MERUNTUHKAN orang yang didampinginya. Istri yang bijak, tahu dan cakap memanfaatkan kekuatan yang dimilikinya ini untuk tujuan membangun. Ia juga tak lalai / sembarangan memainkan kekuatannya sebagai wanita yang menyebabkan kehancuran, keruntuhan pamor, peran dan pengaruh suami sebagai kepala keluarga ataupun anggota keluarga yang didampinginya.

PANGGILAN yang dipercayakan Tuhan : TEMAN PEWARIS & 'SALES' KASIH KARUNIA (1 Petrus 3:7).

Dalam perjalanan hidupnya seorang Wanita Bijak harus makin menghayati arti peran hidupnya menolong / mendampingi suami, yakni memenuhi panggilan mulia sebagai teman pewaris dan 'sales' kasih karunia Tuhan, yaitu kehidupan kekal. Kunci mengalirnya berkat sorgawi dalam kehidupan rumah tangga ada di tangan dirinya dalam menjalani hidup BERSAMA suaminya. Ia perlu belajar 'sepakat' dengan suaminya dalam memerankan fungsi yang saling melengkapi. Juga dalam menjalankan panggilan sebagai pihak yang berhak mewarisi dan mewariskan berkat kehidupan yang disediakan Tuhan bagi anak-anak-Nya, yakni mereka yang percaya akan Tuhan Yesus, Anak Tunggal Bapa sebagai Juruselamat. Tuhan mempercayakan kemungkinan pencurahan berkat yang Dia sediakan bagi manusia melalui hubungan keluarga. Bagaimana seorang istri cakap menempatkan dirinya, menentukan kelancaran aliran berkat bagi dunia sekitar melalui keluarganya. Bagaimana seorang istri bijak dan cakap dalam memenuhi panggilannya sebagai pewaris kasih karunia Tuhan, menentukan efektifitas kesaksian keluarganya di tengah tetangga, kerabat, sahabat, lingkungan yang belum memiliki / mengenal kasih karunia Tuhan, yakni hidup kekal dalam Kristus Tuhan. Suka atau tidak, istri dalam keluarga harus bertumbuh dalam kesadaran akan pengaruh peran hidupnya terhadap keluarganya dan pengaruh peran rumah tangganya terhadap lingkungannya. Dia harus makin bijak menyadari dan cakap memainkan peran yang menunjukkan kepercayaan Tuhan yang besar atas dirinya :

'Menentukan' cairnya 'warisan' berkat sorgawi bagi keluarga dan lingkungannya.
Mempengaruhi 'efektifitas pemasaran' kesaksian akan kasih karunia Tuhan dalam Kristus yang begitu ajaib dan berharga, kebutuhan mendasar setiap anak manusia yang sudah disediakan Tuhan dalam Kristus Yesus diperkenalkan melalui kehidupan rumah tangga-rumah tangga.

2.      KEHADIRAN

Karakteristik istri dalam keluarga sebagai Wanita Bijak yang cakap sangat berkenaan dengan warna dan dampak KEHADIRAN dirinya : di samping suami dan anak-anaknya, di antara orang-orang yang tinggal bersamanya / sering berinteraksi dengannya (Orang tua ? Saudara ipar ? Para penolong aktifitas rumah tangganya ? Petugas sekitar lingkungan tempat tinggalnya ? Karyawannya ? Pimpinannya ? dsb.).

Pada hakekatnya seorang istri yang bijak dan cakap memiliki karakteristik kehadiran yang memberikan PENGARUH POSITIF. Di mana saja, kapan saja, terhadap siapa saja, kehadirannya dirasa makin lama makin memberikan dampak positif, membangkitkan semangat, harapan, antusias dalam menjalani hidup dan menghadapi pelbagai tantangan, tekanan kehidupan. Artinya, ia bukan orang yang pasif mengalir mengikuti sikon. Apalagi menjadi negatif terdikte sikon, melainkan ia aktif mempengaruhi lingkungannya secara positif. Perkataannya, buah pikirannya, perilaku dan keterlibatannya dirasakan lebih memberikan sumbangsih positif. Baiklah para istri sering-sering 'memperhatikan' dan 'mengevaluasi' dampak kehadiran dirinya bagi suaminya, anak-anak, orang sekitarnya … Apakah membuat mereka tambah semangat atau putus asa … membuat mereka tumbuh pengharapan dan keberaniannya menghadapi hidup atau makin kuatir dan penakut … membuat mereka makin kreatif meresponi kesulitan, keterbatasan hidup atau makin buntu dan butek memikirkan jalan keluar ….

Untuk mengembangkan kehadiran yang memberikan dampak positif, istri harus bijak dan cakap melatih diri dalam hal MENDENGARKAN. Ia takkan bertambah cakap dalam mengucapkan perkataan, mengusulkan buah pikiran atau memberikan kontribusi keterlibatan yang positip jika ia tak tahu seni 'mendengarkan' dan hanya tahu / menuntut 'didengarkan' (lebih banyak mengeluh dari pada mendengarkan keluhan orang; lebih sering menggerutu dan mengomel dari pada bersabar menanti atau menyimak situasi yang ada, lebih sibuk curhat kepada orang lain dari pada menerima curhatnya orang). Seni 'mendengarkan' dilukiskan karakter bahasa Tiong Hoa dengan indah :

Ada TELINGA yang pasti harus dipergunakan (bukan sekedar jadi asesoris di samping lingkaran muka kita).Apa yang sebetulnya dikatakan, diungkapkan lewat perkataan, geraman, desahan, intonasi yang kedengaran. Salah satu masalah terbesar dalam hidup bersama selalu berhubungan dengan kemampuan mendengarkan dan kualitas hubungan cukup dipengaruhi oleh adanya telinga yang bersedia mendengar dan mendengarkan ungkapan / curahan hati. Wanita dengan keunikan warna gaya gendernya 'lebih banyak / suka berbicara' perlu bijak dan cakap mengembangkan aspek kesediaan mendengarkan. Bukan berbicara saja. (Yak 1:19b).

Ada MATA yang perlu dipakai untuk memperhatikan dengan sebaik-baiknya (di atas huruf 'mata' ada tulisan angka 10, tanda keutuhan / seutuhnya).Terkadang apa yang terdengar oleh telinga BELUM mengungkapkan sinyal berita sesungguhnya. Hanya ketika mata juga dipakai untuk memperhatikan, menyimak bahasa tubuh, ekspresi wajah, gerakan tangan, kaki, bola, mata … pengenalan akan keadaan dan kebutuhan seseorang lebih akurat. Dengan demikian jawaban atas sikon yang dihadapi dan kebutuhannya lebih tepat dan maksimal. Seorang wanita yang asal mendengar celoteh suaminya sepulang kerja tanpa memperhatikan suasana wajah dan gerakan tubuhnya bisa saja meresponi dengan omelan tandingan akan keletihannya di rumah / pekerjaannya. Padahal bisa saja suaminya sedang merasakan kebosanan dan kejenuhan dan merasa ingin mencari hawa segar bersama istri dan keluarganya di akhir minggu … (tuh kan … bukan acara bersama yang juga dibutuhkan sang wanita yang didapat, melainkan pertengkaran yang menjengkelkan kedua belah pihak).

Ada HATI yang menjadi pangkal kualitas dan warna dampak kehadiran seorang istri di tengah keluarganya.Untuk memberikan kehadiran yang optimal pengaruh positipnya, istri harus memakai hatinya, bukan cuma telinga dan matanya saja. Hati yang lembut dan siap melayani karena kasih Tuhan yang menjadi andalannya (Rom 5:5) akan menjadikan kehadirannya memberkati … bahkan di tengah hari yang tidak nyaman dan meletihkan. Karena dari dalam hatilah terpancar kehidupan, kreatifitas meresponi kebutuhan dan sikon yang berlangsung.

Hikmat dari karakter bahasa Tiong Hoa untuk kata 'mendengarkan' juga mengandung kata RAJA, di sisi kiri bawah. Bagi saya mendengarkan itu meliputi sikap kesediaan melayani dari seorang raja, yang memanfaatkan segala aset, kuasa, pengaruh, fasilitasnya untuk memberikan yang terbaik. Ia tidak minta dijunjung tinggi dan dilayani, melainkan merendahkan diri siap memberi diri untuk melayani. Matanya, telinganya, hatinya dan segala aset hidupnya sebagai raja bersedia dipakai untuk memberkati orang lain.

Bayangkan dampak kehadiran wanita yang bijak dan cakap mengasah kehadirannya karena ia bersedia dan terus belajar 'mendengarkan' … dengan telinga, mata, hati dan aset kehidupannya … WOW, pasti luar biasa ….

3.      KETRAMPILAN

Karakteristik istri sebagai Wanita Bijak yang cakap selanjutnya diwarnai dengan pertumbuhan ketrampilan yang semakin kaya dan kreatif. Bukan semakin sibuk menghadiri berbagai kegiatan sehingga menjadi 'Ibu / wanita maha hadir', melainkan secara kreatif berkarya memanfaatkan waktu, fasilitas, aset yang ada secara efisien dan efektif. Sehingga seperti kata penulis Amsal apa saja yang dikerjakan mendatangkan manfaat dan keuntungan moril dan materil, melipat gandakan keleluasaan menjadi berkat bagi lebih banyak orang dan menjangkau kalangan yang lebih luas.

Kalau memperhatikan lingkup ketrampilan wanita cakap di Amsal 31, kita melihat sedikitnya 3 kategori ketrampilan berkembang dalam profil wanita cakap tersebut :

Terampil mengatur DIRI. Wanita ini tahu betul bagaimana menghadirkan diri di samping / di hadapan suami dan anak-anaknya, sehingga mereka mengasihi, menghargai, merasa bangga dan aman memiliki dia sebagai istri dan ibunya. (31:11-12, 17,22,28). Kehadiran dan ketrampilannya tak membuat suaminya 'terancam,' - kalah pamor oleh istrinya (31:23). Kesibukannya juga tak membuat anak-anaknya 'terbengkalai' (31:15,21,27) - kekurangan perhatian dan kasih sayang sehubungan dengan kebutuhan fisik, emosi dan sosialnya. Karena makanan kemalasan tak pernah menjadi kesukaannya (31:27). Ia terampil menata diri … bagaimana mengatur waktunya, penampilannya, perkataannya, etiket hidupnya, cara bergaulnya - dengan anggota keluarganya, orang serumahnya, tetangganya, mereka yang kesusahan / kurang beruntung, sampai mereka yang berpotensi jadi 'rekan bisnis'nya (31:11-12, 15b, 20, 24, 26,28). Orang yang tahu mengatur diri adalah seorang yang tahu memimpin dirinya sendiri. Dan itu profil awal orang yang bisa memberkati orang lain, memimpin orang lain dengan positif dan baik, mendampingi pemimpin dalam hidupnya (suami, atasan, dll.) meraih keberhasilan masa kini dan masa depan (31:25).

Terampil mengatur RUMAH. Gandengan ketrampilan mengatur diri adalah terampil mengatur rumah. Baca dan coba imajinasikan aktifitas hidup wanita di Amsal 31 ini. Kita akan melihat profil wanita yang trampil mengatur rumahnya, pekerjaan di bawah atap rumahnya teratur dan terkontrol dengan baik, para pelayan yang bekerja dirumahnya mendapatkan pengaturan dan pembagian kerja yang rapi (31:15,21,27). Mereka yang tinggal bersamanya, atau berada di bawah pengayomannya tak kekurangan makanan, pakaian dan kehangatan, khususnya di musim dingin (31:14-15, 21). Seorang yang cakap mengatur diri, tentulah menular kecakapannya pada pengaturan akan rumah tangganya.

Terampil mengatur ASET. Keistimewaan tambahan wanita bijak yang cakap ini adalah ketrampilannya mengolah aset yang dimiliki suami / keluarganya, seperti ladang, rumah, ternak, relasi, hobi dan bakat alami maupun hasil pembelajaran dirinya. (31:13,16,18-19,22,24). Dia tak terlena oleh kenikmatan yang sudah dimilikinya … Dia juga tak terbuai oleh keleluasaan hidup yang sudah dimilikinya … sehingga melewatkan waktu sekedar menikmati kekayaan hidup dan hubungan sosialnya. Wanita ini cakap 'mengolah' apa yang dimilikinya agar bisa menghasilkan sesuatu yang lebih baik dan bermanfaat - misalnya bulu domba dipintal dan ditenun, kain dibuat baju, tali temali dipintal menjadi permadani, ikan pinggang yang bukan cuma dipakai sendiri tetapi juga bisa dijual … Perolehan uang ditabung dan ketika uang tabungan cukup, dibelinya ladang / tanah. Tanah ditanami anggur (keperluan sehari-hari dan berpotensi menguntungkan). Dia bukan pandai 'memanfaatkan' orang melainkan cakap membangun, menjaga, mengolah hubungan dengan sesama demi kepentingan bersama, kemajuan bersama, keberkatan bersama ….

Istri yang bijak memiliki dalam dirinya potensi mengembangkan diri sedemikian sesuai dengan kadar kreatifitas yang mampu dicurahkan Roh Kudus yang ditempatkan Tuhan dalam dirinya sebagai wanita yang takut akan Tuhan. Mereka yang rajin, akan berkembang menjadi wanita cakap yang hidup dan kehadirannya produktif, efektif, efisien … memuliakan Tuhan, memberkati sesama mulai dari keluarganya, tetangganya, kerabat dan teman / relasinya ….

4.      KEROHANIAN

Pengembangan diri seorang wanita sebagai istri sampai menjadi Wanita Bijak yang cakap bukanlah proses instan dan mudah. Tapi bukan perkara muskil dan mustahil. Kunci kemungkinan pengembangan diri sampai ke level demikian bukan ditentukan oleh IQ seseorang - kualitas intelektualnya, ataupun pendidikannya, melainkan kualitas kerohanian dan keterbukaan seseorang untuk belajar dan melayani.

Amsal 31:29-30 jelas menegaskan bahwa wanita cakap ini unggul bukan karena kemolekan fisiknya, kecerdasan otaknya, melainkan hubungannya dengan Tuhan. Ia disebut wanita yang takut akan Tuhan. Wanita ini dengan SADAR dan SENGAJA mengolah, menjaga hubungannya dengan Tuhan mewarnai seluruh aspek dan area hidupnya secara konsisten dan konsekuen. Ketika hati kita diserahkan untuk dipimpin dan dikuasai oleh Roh Tuhan, hidup kita dijalani dalam standar Firman Tuhan. Maka janji Firman Tuhan berlaku untuk siapa saja : Apa saja yang diperbuatnya berhasil, menguntungkan, Tuhan berkenan menggenapkan keinginan hatinya yang memang tumbuh sejalan dengan hasrat Tuhan yang dikasihi dan dihormati dalam hidupnya. Bahkan Tuhan memunculkan kreasi dan kreatifitas baru, dipercayakan kepadanya untuk dikembangkan dan diwujudkan melalui hidupnya (Mzm 1:1-3; Yos 1:8). Berapa banyak teladan wanita yang 'tidak molek' secara fisik, tidak mulus jalan hidupnya … Hidupnya menjadi saluran berkat LUAR BIASA bagi banyak orang, bahkan kalangan yang luas melampaui batasan kapasitas dan relasi yang dimiliki sebelumnya. (Ibu Susane Wesley, Ibu Teresa, Ibu Maimunah Natasha, dll.).

Kualitas kerohanian yang membuat seorang wanita memiliki KESADARAN yang bertumbuh akan peran dan panggilannya, KEHADIRAN yang makin berdampak positip dan KETRAMPILAN yang makin kreatif dan bermanfaat.

5.      KETERBUKAAN

Karakteristik lain yang menjadikan istri Wanita Bijak makin cakap dalam kehidupan keluarganya adalah KETERBUKAAN … ini adalah kunci ampuh untuk mengalami pemulihan dan kemajuan dalam hidup. Wanita ini belajar terbuka dalam beberapa area kehidupan nyatanya :

Keterbukaan untuk menyadari keterbatasan dirinya, keterbatasan sesamanya / orang lain (terutama mulai dari pasangannya, orang serumahnya). Tak ada orang yang sempurna dan seba tahu. Karena itu ia belajar terbuka untuk menerima kekurangan, kelalaian orang lain, memaklumi orang bisa lupa dan keliru (bukan / tak sama dengan membiarkan kesalahan). Member ruang / kesempatan pada orang lain untuk belajar dari kekeliruan. Sebaliknya ia juga terbuka untuk menerima koreksi dari orang lain, terutama dari suami / anggota keluarganya (bersedia melakukan 'rapport').

Keterbukaan dalam arti kerendahan hati untuk terus membekali diri, terbuka untuk belajar sesuatu yang baru agar boleh makin bertumbuh dalam pemahamannya akan hidup, ketrampilannya menjalani hidup … supaya tidak menjadi batu sandungan tapi terus menjadi batu pijakan orang lain bertumbuh ….

Keterbukaan untuk menyadari / menerima kemungkinan PERBEDAAN : berbeda dalam pendapat, cara meresponi / menyikapi situasi / orang / pengalaman dsb. Istri yang bijak bertumbuh dalam kecakapan mengenali perbedaan latar belakang pertumbuhan, keluarga, pendidikan, pengalaman hidup menentukan profil pribadi dan gaya hidup orang. Orang tak bisa diperlakukan sama dan dituntut mengerti dan menerima / meniru apa yang dia rasa dan pikirkan. Masing-masing pribadi unik dibentuk Tuhan dan merupakan sarana unik di tangan Tuhan untuk membentuk dan mengasah dirinya juga agar tumbuh makin serupa Kristus.

Akhir kata, istri di tengah keluarga dituntut memantulkan karakter Wanita Bijak yang cakap. Bukan profil seorang wanita yang lemah kelemar-kelemer, melainkan lembut namun kuat dan tangguh. Ia memang dirancang Allah untuk peran PENOLONG, tapi bukan berarti sekedar tambahan dan ganjalan bagi kehidupan pria / keluarga, melainkan memiliki peran dan pengaruh kehadiran yang besar baik untuk membangun maupun meruntuhkan. Bukankah kita tak asing dengan pepatah "di balik PRIA yang BERHASIL, tentulah ADA seorang WANITA" … saya percaya pepatah yang seimbang dengan itu juga berlaku "di balik PRIA yang GAGAL / HANCUR juga ADA seorang WANITA." Wanita harus belajar makin bijak dan cakap memperhitungkan PERAN dan PENGARUH dirinya sebagai ISTRI dan IBU, sebagai wanita yang diciptakan Allah dengan misi istimewa, teman pewaris kehidupan dan 'sales' kasih karunia Tuhan di tengah dunia MELALUI / BERSAMA keluarganya.

Sebab itu, 5 area karakteristik pembangunan Wanita Bijak yang cakap perlu diingat dan dijadikan bagian hidup setiap wanita :
KESADARAN akan peran dan panggilannya …
KEHADIRAN yang dengan sadar dan sengaja memberikan dampak positip.
KETRAMPILAN yang terus diasah dan dikembangkan sesuai kasih karunia Tuhan
KEROHANIAN yang terpelihara dalam koridor takut akan Tuhan
KETERBUKAAN untuk menerima dan meresponi perbedaan disertai spirit terbuka untuk terus belajar membekali dan memberdayakan diri.